Sekarang harga sawit di pasar internasional turun drastis, sementara produksi sawit terus naik, mereka - bahkan tanpa anjuran pemerintah - bersedia memakai biodiesel untuk keperluan sendiri energi mereka. Saya tidak tahu pakah ini pengaruh dari lahirnya biofuel mandatory policy lewat Permen ESDM no 32 tahun 2008 [se-tidak realistis sekalipun tahapan pencapaiannya, atau terlalu optimistik [lihat gambar;klik untuk lebih jelas]]? Saya percaya, hasilnya akan jauh beda jika harga sawit di pasar internasional tetap naik, mungkin "perintah" itu hanya akan tetap jadi kertas dan "kebutuhan dalam negeri"? Emang Gue Pikirin.

Entah mengapa peristiwa itu mengingatkan saya pada ujaran salah seorang sahabat saya bahwa Di Indonesia ini sangat sedikit sekali industriawan, terlalu banyak dengan pedagang. Padahal Industriawan-lah yang sebenarnya paling berhak menyandang gelar enterpreneur dan bukannya pedagang. Mental pedagang biasanya baru terjen ketika "jalan" sudah nyata di depannya; sementara industriawan, bermodalkan mimpi dia mau "membabat alas". mental pedagang itu berimbas pada banyak hal - karena selalu ingin untung terus. Tidak ada niat, misalnya membangun keadaan yang lebih baik, menghormati masyarakat di sekelilingnya, dst.
Maka begitulah...DMO minyak sawit, stock yang cukup untuk keperluan dalam negeri, menyokong kebijakan energi alternatif - yang sebenarnya akan berimbas baik juga pada mereka; setidaknya dalam "image" - tetap menjadi benang basah yang coba ditegakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar