04 April 2008

Apa Kabar Dewan Energi Nasional?

Oleh: Mumu Muhajir

Sebuah berita di website resmi Departemen ESDM pada hari senin, 31 Maret 2008, terus terang mengagetkan saya, atau lebih tepatnya membingungkan saya. Berita itu mengenai pembentukan Forum Energi Daerah di tiga provinsi yakni DIY, Jateng dan NTB. Forum ini akan disebarkan juga ke daerah lainnya. Bukan saya tidak setuju dengan pembentukan Forum Energi Daerah ini yang katanya diharapkan menjadi seperti Bakoren atau Dewan Energi di tingkat daerah. Justru, dalam taraf tertentu saya mendukung pembentukan Forum semacam ini, mengingat terbatasnya kewenangan Bakoren di pemerintah pusat serta makin besarnya peranan politik daerah seiring dengan semangat otonomi daerah. Apalagi fungsi Forum Energi Daerah ini cukup signifikan, yakni dalam hal penyusunan database energi serta perencanaan energi di masing-masing daerah sehingga bisa lebih terlihat kemampuan dan kapasitas energi masing-masing daerah.

Kewenangan pemerintah pusat dalam masalah energi memang masih kuat, termasuk misalnya dalam pengaturan masalah minyak dan gas. Tetapi tantangan energi ke depan sangatlah berat sehingga beban ini seharusnya dibagi dengan pemerintah daerah – tentu saja karena alasan lainnya adalah semangat otonomi daerah. Energi tidak lagi masalah penyediaan dan pengelolaan migas, tetapi juga batu bara, panas bumi, nuklir, biomas, matahari dan lain-lain sumber energi terbarukan dan energi baru. Dalam UU 30 tahun 2007 tentang energi, kewenangan dalam bidang energi sudah demikian terdesentralisasi, walaupun kewenangan pemerintah pusat tetap lebih kuat, misalnya dalam hal penetapan dan pemberlakuan standar dan penetapan prosedur dan tampak memperlakukan pemerintah daerah hanya sebagai “pelaksana” dari kebijakan energi [yang harus] nasional. Ada banyak kewenangan daerah yang menarik yang sebelum UU Energi ini lahir tidak ada, misalnya saja penyusunan rencana umum energi daerah [yang mengacu pada rencana umum energi nasional dimana diharuskan ada masukan dari pemerintah daerah], pemberian subsidi pada harga energi bagi masyarakat kurang mampu, pemberian insentif dan disinsentif dalam, antara lain, pengembangan energi baru dan terbarukan serta konservasi energi. Nampak memang bahwa kewenangan daerah tidak lagi hanya sekedar penerima dampak dan aktor pasif dalam kebijakan energi di negeri ini. Bahkan, pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam pengelolaan energi, yakni, kegiatan untuk penyediaan, pengusahaan dan pemanfaatan energi serta penyediaan cadangan strategis dan konservasi sumber daya energi. Saya menduga hal ini didorong oleh keinginan pemerintah untuk melakukan desentralisasi energi untuk melepaskan diri dari ketergantungan dari energi tak terbarukan, utamanya minyak bumi. Masalah penyediaan energi terbarukan, seperti biofuel, tidak lagi bisa disentralkan pada tangan pemerintah pusat layaknya migas, tetapi kehadiran dan dukungan daerah sangatlah penting.

Di luar dukungan itu semua, kebingungan saya lahir karena pembentukan Forum Energi Daerah – apalagi diharapkan nantinya berperan sebagai dewan energi daerah – ini tidak diawali dengan pembentukan Dewan Energi Nasional. Padahal pembentukan DEN ini diwajibkan oleh UU, yang berbeda dengan pembentukan Forum Energi Daerah yang saya sama sekali tidak tahu dasar hukumnya [?]. Dan pembentukan DEN ini seharusnya sudah terbentuk pada 6 bulan sejak UU Energi diundangkan, yakni 10 Februari 2008 kemarin. Sampai sekarang saya tidak menangkap kapan DEN ini akan dibentuk mengingat ada beberapa anggota DEN yang dipilih – dengan melewati uji kelayakan – di DPR. Perlukah kita makan “kerupuk” sementara suwiran daging penuh gizi menanti untuk diolah bagi kepentingan “tubuh” yang lagi “kekurangan energi’ ini? Bukan masalah “kerupuk” tidak penting, tetapi ini masalah skala prioritas.

DEN ini merupakan lembaga baru yang bersifat nasional, mandiri dan tetap yang bertugas dalam penyusunan kebijakan energi nasional, menetapkan rencana umum energi nasional, menetapkan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi serta mengawasi pelaksanaan kebijakan energi yang lintas sektoral. Tampak bahwa beberapa tugas dan DEN ini merupakan prasyarat bagi kegiatan serupa yang akan dilakukan di daerah lewat, salah satunya, Forum Energi Daerah. Selain itu, dalam kondisi “menjelang” krisis energi di Indonesia sekarang ini kehadiran lembaga DEN ini sangat penting. Ini bisa dilihat dari komposisi struktur DEN, ada pimpinan dan anggota. Pimpinan terdiri atas ketua, wakil ketua dan ketua harian yang masing-masing dijabat oleh presiden, wakil presiden serta menteri ESDM. Sementara anggota terdiri dari 15 orang, 7 orang dari unsur pemerintah, termasuk menteri dan 8 lainnya dari unsur pemangku kepentingan, seperti akademisi, industri, teknologi, lingkungan hidup dan konsumen. Komposisi ini, sebagaimana Dewan Pertambangan, memungkinkan DEN menjadi lembaga mediasi jika ada “konflik” kepentingan dalam pembuatan sebuah kebijakan. Tidak seperti Dewan Pertambangan bahkan Bakoren, DEN ini bersifat lintas sektoral dan dibentuk dengan peraturan hukum yang lebih kuat.

Keberadaan DEN makin penting di tengah usaha desentralisasi energi seperti sekarang ini yang tidak lagi bisa bertumpu pada kewenangan satu departemen. Lembaga yang terbentuk untuk mengembangkan energi terbarukan, seperti timnas BBN, tidak berjalan lancar karena adanya hambatan koordinasi sektoral. Sebagaimana diketahui dalam pengembangan BBN setidaknya harus melibatkan Departemen lain selain departemen ESDM, seperti Deptan, Dephut, Dept. Perindustrian. DEN bisa - karena sudah tugasnya – melewati hambatan itu. Kehadirannya juga bisa meminimalisir kehadiran lembaga-lembaga setingkat atau di bawah menteri yang dikhususkan dalam pengawasan pengembangan salah satu atau beberapa jenis energi baru dan terbarukan. Hubungan antar departemen yang berhubungan dengan pelaksanaan sebuah kebijakan energi diharapkan lebih baik lagi, misalnya tumbuhnya satu visi. Kita bisa ambil contoh keinginan pemerintah membuat kebijakan DMO batu bara yang ternyata tidak hanya melibatkan Departemen ESDM tetapi juga Departemen Perdagangan dalam hal verifikasi ekspornya serta Departemen Perindustrian dalam mendorong kenaikan komsumsi batu bara di dalam negeri.

Sayangnya adalah UU Energi sendiri hanya menentukan kapan DEN ini terbentuk tetapi lupa untuk menetapkan dengan peraturan perundang-undangan apa DEN ini harus dibentuk. UU Energi hanya menyatakan bahwa DEN ini dibentuk oleh presiden. Dalam pemahaman penulis, sebuah PP atau Keppres cukup menjadi dasar hukum pembentukan DEN.

Yang bisa saya tangkap dari kejadian ini adalah ini merupakan simpton dari penyakit akut yang ada dalam pengambil keputusan di negeri ini. Pertama, setidaknya dia menunjukkan bahwa pemerintah serta DPR tidak konsisten dalam menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang dibuatnya sendiri. Hal ini kemudian bisa memperlemah ketundukan masyarakat pada peraturan perundangan yang dibuat pemerintah/DPR yang ujung-ujungnya adalah memperlemah kepastian hukum di negeri ini yang memang sudah tidak pasti.

Kedua, ini menjadi indikasi bahwa pemerintah memandang persoalan energi hanya persoalan yang harus diselesaikan secara seketika, berdimensi jangka pendek dan sepotong-sepotong, seperti tanpa perencanaan yang komprehensif. Contohnya bisa berderet dari briket batu bara, konversi minyak tanah ke gas, kartu BBM, dst. Selain itu, pola penyelesaian pemerintah dari yang “kurang” penting tanpa ada ‘tanda-tanda’ bahwa soal yang ‘penting’, apalagi ini ada perintah UU-nya, akan diselesaikan juga menunjukkan mentahnya perencanaan serta penentuan skala prioritas [jangan-jangan pemerintah memang tidak memandang penting kebijakan energi nasional yang lebih komprehensif dengan kedudukan hukum yang lebih kuat, jangan-jangan penyediaan cadangan penyangga energi nasional itu hanya omong kosong saja, dst] dan menghadirkan keraguan tentang kapasitas pengambil keputusan dalam menyelesaikan persoalan.

Ketiga, pembentukan Forum Energi Daerah itu merupakan salah satu wujud dari hasil kerja program CAREPI dengan bantuan Pemerintah Belanda. Seolah, jika ada uang dan pengawasan dari bangsa asing, program bisa dilaksanakan sedangkan jika program yang dibuat dan dilaksanakan sendiri kalang kabut. Saya tidak ingin masuk ke: apa kepentingan Belanda dengan Forum ini?. Namun perlukah, sekarang ini, saat ini, Forum Energi Daerah – tanpa kejelasan hukum, tanpa wewenang pasti – dibandingkan dengan menyelesaikan persoalan yang sudah menahun ada di pemerintahan pusat dan di bidang energi, seperti melaksanakan perintah jelas UU membentuk DEN, kemudian menyusun rencana umum energi nasional yang nantinya diadopsi oleh masing-masing daerah dalam bentuk rencana umum energi daerah yang ditetapkan dengan perda untuk bersama-sama menghadapi krisis energi?

Keempat, lebih menyangkut persoalan hukum. Banyak UU yang dibuat oleh pemerintah dan DPR yang mensyaratkan tenggat waktu tertentu baik pembentukan lembaga atau peraturan pelaksananya. Sepanjang yang saya tahu, hampir semuanya terlambat, bahkan ada yang belum diwujudkan. Membawa pemerintah ke pengadilan dengan citizen lawsuit kadang hasilnya belum tentu sebagaimana diharapkan. Ini sebenarnya merugikan pemerintah sendiri, setidaknya wibawanya turun. Proses Pembuatan UU karenanya harus benar-benar menghitung secara bijaksana kemampuan serta tenggat waktu pemerintah dalam melaksanakan perintah UU tersebut.

Jakarta, 03 April 2008

Anda bisa mengunduhnya lewat situs ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar