02 April 2008

Analisis atas Ketentuan-ketentuan Pokok Kontrak Production Sharing di Indonesia [3]

lanjutan....


E. KPS Mengatur Pengelolaan Lingkungan Hidup?

Dari apa yang penulis baca dalam PP No 35 Tahun 1994, terlihat bahwa pemerintah nampaknya tidak terlalu memperhatikan tentang kewajiban kontraktor dalam menjaga lingkungan hidup. Dalam Pasal 4 PP tersebut kontraktor hanya wajib “...memperhatikan kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam...pelestarian lingkungan.” Kemudian bagaimana tolak ukur kontraktor memperhatikan kebijaksanaan itu? dan tindakan apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia jika kewajiban kontraktor di atas tidak dilaksanakan? PP ini tidak mengaturnya. Selain itu PP ini tidak mengatur mengenai penyelesaian perselisihan, kewajiban kontraktor dalam pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan pada hak-hak masyarakat adat serta kewajiban kontraktor pasca operasi pertambangan. Barulah dalam KKS, hal-hal yang disebutkan barusan dimasukkan sebagai ketentuan yang harus ada di dalam KKS.

Dalam KPS yang ada di tangan penulis, kontraktor berkewajiban dalam pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Bagian V Paragraf 5.2.5. Ada beberapa hal yang wajib dilakukan oleh kontrator:
[a]. Melakukan Environmental Baseline Assessment [AMDAL] pada awal pelaksanaan aktivitas kontraktor.
[b]. Menerapkan prinsip kehati-hatian untuk melindungi sistem ekologi,kelautan dan perikanan dan akan mencegah sebaik mungkin polusi yang mungkin terjadi di wilayah kerjanya, laut atau sungai-sungai atau wilayah lainnya sebagai akibat langsung adanya aktivitas yang dilakukan sebagaimana telah ditentukan dalam Rencana Kerja.
[c]. Kontraktor berkewajiban memindahkan semua peralatan dan instalasi operasinya dari wilayah kerjanya serta harus melakukan aktivitas restorasi wilayah yang diperlukan setelah kontraknya berakhir atau dihentikan, atau setelah kewajiban pengembalian sebagai dari wilayah kerjanya atau meninggalkan suatu wilayah.

Pemindahan dan restorasi itu harus mengikuti aturan Pemerintah Indonesia yang berlaku yang ditujukan untuk mencegah adanya bahaya kerusakan kepada manusia, peralatan milik pihak lain dan
lingkungan hidup.

Kontraktor bisa dilepaskan dari kewajiban pemindahan dan restorasi ini jika pemerintah Indonesia mengundang pihak ketiga untuk mengambil alih wilayah kerjanya atau wilayah yang telah ditinggalkannya. Jika ini terjadi, maka dana yang dimiliki kontraktor untuk melakukan pemindahan dan restorasi ini harus diserahkan kepada BP Migas. Biaya untuk melakukan pemindahan peralatan dan instalasi ini serta aktivitas restorasinya dimasukan sebagai biaya operasi.

Keharusan kontraktor untuk melakukan Amdal pada awal pelaksanaan aktivitasnya sudah sesuai dengan ketentuan tentang AMDAL di Indonesia. Begitu juga dengan butir [b] di atas. Sehingga dengan demikian kontraktor tersebut mengikuti aturan tentang perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.
Tinggal bagaimana jika kontraktor tidak mematuhi peraturan tentang perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.

Di dalam KPS yang penulis baca, kompensasi terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang ditimbulkan kontraktor tidak ada dan tidak diatur. Pasal 40 UU Ayat [2] dan Ayat [3] UU Migas sebenarnya sudah mewajibkan kepada badan usaha dan bentuk usaha tetap untuk menjamin
pengelolaan lingkungan hidup yang berupa kewajiban untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.

Ketidakmampuan kontraktor dalam memenuhi kewajiban di atas sewajarnya akan menimbulkan hak bagi Pemerintah Indonesia untuk menegur, memberikan peringatan, memberi sanksi administratif berupa penghentian kontrak, menetapkan kompensasi secara seketika, meminta ganti rugi secara perdata, atau membawa ke pengadilan, atau mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup itu. Masalahnya adalah dengan adanya UU migas baru
itu, salah satu pihak di dalam kontrak adalah pemerintah sendiri, tentu ini akan menimbulkan benturan kepentingan.

Pembayaran kompensasi akibat adanya tindakan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kontraktor, tidak boleh dimasukkan dalam biaya operasi yang bisa dikembalikan. Kecuali ditentukan lain, jika ada pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup karena ada keadaan kahar, maka tindakan pemulihannya merupakan tanggung jawab bersama para pihak dalam kontrak.

Pada awal sebelum terjadinya kontrak, kiranya perlu bagi Pemerintah Indonesia untuk menentukan diterima atau tidaknya perusahaan sebagai kontraktornya dilihat dari kesanggupan perusahaan itu dalam mempergunakan kaidah-kaidah keteknikan yang baik dan menerapkan teknologi terkini yang aman secara lingkungan atau setidaknya bisa meminimalisir terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Dengan cara seperti itu pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang kerap kali terjadi dalam pertambangan minyak dan gas bisa dicegah dan dikurangi seminimal mungkin kualitas dan kuantitasnya.

Point [b] di atas, dalam pandangan penulis, merupakan ketentuan yang terlalu umum, dan membuka banyak interpretasi. Dalam khasanah hukum lingkungan, prinsip kehati-hatian itu lahir untuk mengantisipasi akan adanya ketidakpastian dari lingkungan hidup yang tidak bisa dicandra dengan
baik oleh kemajuan teknologi. Berbeda halnya dengan prinsip pencegahan, yang sangat mempercayai kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menentukan dan mengantisipasi dampak apa saja yang akan lahir jika ada intervensi terhadap lingkungan hidup, penerapan AMDAL adalah salah satu
manifestasinya. Dalam prinsip kehati-hatian, kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi tidak seratus persen. Karena gerak lingkungan adalah layaknya gerak mahluk hidup raksasa, dimana probabilitas, walaupun tetap bisa diasumsikan, akan sangat tidak mungkin dijadikan patokan kuat. Sampai sekarang pun fenomena hujan, tetaplah menyisakan beberapa misteri yang agak sulit diungkapkan berhubung banyaknya faktor yang terlibat di dalamnya.

Maka ada baiknya point [b] di atas diperjelas dan diberikan perincian, karena kontrak adalah lingkaran dalam dari aturan hukum yang ada, masih ada lingkaran hukum lainnya yang berpengaruh dan menentukan isi kontrak itu. Kontrak adalah semacam juklak dan juknis pelaksanaan suatu usaha. Dengan kalimat barusan juga bisa juga diartikan lain, bahwa point [b] di atas bisa saja dihilangkan
dari kontrak KPS dan kemudian dimasukkan dalam peraturan yang lebih tinggi atau dalam peraturan pelaksana yang mengatur mengenai pedoman dan syarat-syarat KPS [KKS].

Memasukan biaya pemindahan peralatan dan instalasi serta biaya restorasi wilayah ke dalam biaya
operasi yang setelah ada produksi bisa dikembalikan lagi adalah hal, yang dalam pandangan penulis, agak mengkhawatirkan. Sebagaimana telah penulis jelaskan di dalam masalah cost recovery di atas, maka sebenarnya yang menanggung biaya pemindahan serta biaya restorasi wilayah adalah negara c.q pemerintah. Padahal itu adalah kewajiban dari kontraktor.

Dalam pemikiran penulis akan lebih baik jika biaya untuk pemindahan dan biaya restorasi itu dianggap sebagai resiko yang harus ditanggung oleh kontraktor sendiri dan bujetnya itu tidak dimasukkan ke dalam biaya operasi seperti hal yang sama terjadi pada pembayaran bonus kepada pemerintah.

Bagi kontraktor yang memenuhi syarat-syarat perlindungan lingkungan hidup, maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memberikan insentif, bisa berupa pengurangan pajak, atau bonus, atau pelonggaran peraturan atau menaikkan persentase profit oil bagi kontraktor atau tindakan lainnya.
Hal ini perlu dilakukan karena sektor lingkungan hidup masih dianggap sebagai beban, sehingga adanya insentif akan lebih menarik banyak perusahaan untuk menaati peraturan lingkungan hidup.

Penaatan kontraktor terhadap peraturan perlindungan lingkungan hidup yang berlaku di wilayah hukum Indonesia, tidak membatasi hak dan kewajiban kontraktor untuk tunduk pada peraturan perlindungan hukum regional atau internasional yang mengatur perlindungan lingkungan hidup secara umum
atau yang khusus yang ada hubungannya dengan pertambangan minyak dan gas bumi. Atau penaatan pada best practise dalam usaha pertambangan minyak dan gas yang telah disepakati bersama.

F. KPS dan Penghormatan pada Hak-hak masyarakat terkena dampak dan Masyarakat Adat


Dalam KPS yang penulis punya, dua ketentuan di atas tidak disebutkan secara jelas. Namun dalam Bagian V tentang Hak dan Kewajiban, paragraf 5.2.19 disebutkan bahwa kontraktor diwajibkan untuk mematuhi aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian maka dengan sendirinya kontraktor
harus mematuhi peraturan yang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai penghormatan pada HAM dan Masyarakat Adat.

Dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat sekitar atau masyarakat adat, sebenarnya bisa dilakukan lewat pengaturan mengenai pengutamaan pemakaian tenaga kerja Indonesia, dengan memasukkan unsur pekerja lokal ke dalam perusahaan. Kepentingan lain bisa ditampung dengan menjalankan pemberdayaan masyarakat.

G. Pembatasan Pengembalian Modal [Repatriasi Modal] ke Luar Negeri


Untuk menjamin bahwa keuntungan yang didapatkan dari pertambangan Minyak dan Gas Bumi perlu kiranya pemerintah mengatur dalam kontrak-kontrak pertambangan khususnya dalam KPS agar keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan sebagian harus diinvestasikan kembali di Indonesia.

Usulan ini pastinya tidak akan mudah dan berisiko tinggi mengingat kuatnya paham kebebasan modal [keluar masuk modal di suatu negara harus tidak dibatasi, malah harus dipermudah; pandangan yang telah menghancurkan sistem finansial Inggris di awal tahun 1990-an, sistem finansial dan moneter negara-negara Asia tenggara tahun 1997-1998] yang bercokol di benak pemegang kepentingan pengelolaan minyak dan gas bumi.

Tetapi Indonesia harus melakukan tindakan ini untuk menjaga stabilitas ekonomi serta untuk mendapatkan sebesar-besarnya modal uang bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Kembali dengan mengingat dasar diadakannya sistem kontrak KPS, yang dilakukan karena Indonesia masih kekurangan orang
yang ahli, modal dan teknologi dalam pengelolaan kekayan minyak dan gasnya. Dengan adanya pembatasan tersebut, modal tercipta yang tetap ada di bumi Indonesia akan mendorong terjadinya kemandirian modal bagi Indonesia sendiri.

Dalam pasal 19 UU No. 1 tahun 1967 disebutkan bahwa perusahaan berhak mentranfer ke luar negeri keuntungan yang didapatkannya. Dengan mengingat ketentuan UU ini, maka pembatasan terhadapnya bisa dilakukan secara sukarela dan akan sangat lebih baik kalau hal itu dimasukan ke dalam kontrak, sebagai hal yang bisa dinegosiasikan.

Di sisi lain sebenarnya pemerintah bisa berlindung di balik pasal 20, di mana ditentukan bahwa transfer yang bersifat repatriasi modal tidak dapat diijinkan selama perusahaan mendapatkan kelonggaran pajak dan pungutan-pungutan lain sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 UU yang sama, antara lain adalah kelonggaran dan pembebasan dalam pajak perseroan terhadap keuntungan, pembebasan
bea masuk, pajak deviden, bea masuk untuk barang-barang yang tetap, bea materai modal. Dengan demikian, pembatasan itu berupa kewajiban.

Sebagai telah diuraikan terdahulu, perusahaan minyak dan gas di Indonesia mendapatkan banyak kemudahan dalam bidang perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya, sehingga wajarlah jika pembatasan repatriasi modal itu dilakukan dan ada di dalam kontrak KPS.

H. Kesimpulan

KPS merupakan salah satu jenis kontrak kerjasama yang berlaku di bidang perminyakan. Ia menjadi salah satu contoh dari kontrak Innominaat yang berkembang di Indonesia. Ia merupakan kontrak khusus yang ketentuan-ketentuan didalamnya merupakan aturan khusus dari aturan umum yang mengatur hal yang sama. Kecuali jika ia tidak mengaturnya, maka ketentuan umum, termasuk juga aturan dalam Buku III KUH Perdata baru berlaku.

Tetapi KPS tetap merupakan kontrak yang harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana disebutkannya sendiri dalam kontraknya. Dengan demikian, beberapa ketentuan seperti peraturan tentang pengelolaan lingkungan hidup maka kontraktor selain harus tunduk pada isi KPS, peraturan perlindungan lingkungan yang berlaku di lingkungan Departemen ESDM, juga harus tunduk pada peraturan tentang lingkungan hidup lainnya yang lebih umum. Hal ini, berbeda misalnya dengan KK yang lebih tebal dan rinci, KPS merupakan kontrak yang agak umum; ada banyak ketentuan didalamnya yang merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di luar KPS.

KPS merupakan entitas bisnis yang bergerak mengikuti perkembangan ekonomi. Namun sebuah aturan yang lebih baru mengenai syarat dan ketentuan yang harus ada di dalam KPS ini harus tetap ada, yang sebenarnya sudah diperintahkan oleh UU Migas sendiri dalam bentuk PP. PP ini penting sebagai patokan bagi pemerintah ketika melakukan negosiasi dengan pelaku usaha perminyakan.

Begitu juga aturan tentang apa-apa saja biaya operasi yang bisa diganti oleh pemerintah harus diatur dengan tegas untuk menghindarkan pemerintah dari kerugian karena harus membayar biaya pergantian yang lebih besar dari yang seharusnya. Walaupun kewenangan ini, sepertinya diserahkan
kepada BP Migas, tetapi sebuah permen esdm yang lebih kuat, tetapi lebih fleksibel dalam mengikuti perkembangan bisa diajukan sebagai dasar hukumnya.


Jakarta, Maret 2008

1.Misalnya Salim H.S., dalam buku perkembangan hukum kontrak innominaat di Indonesia, sinar grafika, 2005

2.Setelah mereka yakin bahwa dengan system KPS ini mereka secara langsung tetap mengendalikan operasi di lapangan minyaknya dan di sisi lain mereka juga khawatir jika resistensi mereka pada KPS hanya akan membuat mereka dinasionalisasikan sehingga mereka kehilangan aset atau
malah ketinggalan langkah dalam memperebutkan lahan-lahan potensial minyak berkualitas bagus],
3.IIAPCO ini adalah perusahaan minyak kecil. Kesediannya untuk menerima bentuk kontrak KPS merupakan usaha untuk menembus dominasi perusahaan minyak besar yang waktu itu ada di
Indonesia, selain juga untuk membuka akses pada area-area yang diperkirakan mempunyai cadangan minyak mentah kualitas bagus, yang tidak bisa dimasuki kecuali ikut dalam skema KPS. Usaha yang
dilakukannya ternyata mendorong perusahaan besar untuk ikutan masuk dalam skema Kontrak Production Sharing, yang dimulai pada tahun 1971 saat penandatanganan perpanjangan Kontrak Karya menjadi sistem KPS,yang berlaku mulai tahun 1983. Lihat Kirsten Bindenman,Production-Sharing Agreements: An Economics Analysis , Oxford Institute for Energy Studies, October 1999.
4. PT PERMINA yang sebelumnya bernama PT TMSU [Tambang Minyak Sumatera Utara], mengusahakan seluruh lapangan minyak yang dulunya berada di bawah konsesi Shell serta fasilitas pengilangan dan pelabuhan pertama di Indonesia yang ada di pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu. Berdasarkan SK Menteri Pertambangan dan Migas No. 123/M/Migas/66 tanggal 24 Maret 1966,mengatur mengenai tugas khusus dari PN PERMINA, yakni menyelenggarakan pengusahaan minyak dan gas bumi di bidang produksi dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, sedangkan bidang pemasaran minyak dan hasil-hasil minyak di dalam negeri diberikan pada PN PERTAMIN. Dan ketika PERTAMINA lahir pada tahun 1971, Ibnu Sutowo menjadi direkturnya, karena dianggap mengerti bagaimana melakukan lobi dan negosiasi dengan perusahaan asing yang bergerak di sektor hulu minyak dan gas bumi.
5. Lihat pendapat Abrar Saleng, Ibid, hal 161. lihat juga Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia, Jakarta:Rajawali Press,2005, hal 289 -293
6. Lihat Pasal 5 PP No.35 Tahun 1994.
7. Lihat Pasal 9, 10 dan II PP No. 35 tahun 1994.
8. Lihat Pasal 11 PP No 42 tahun 2002 tentang BP Migas yang mengatur mengenai tugas BP Migas sebagai pelaksana penandatangan KKS. Sementara tentang pengalihan hak dari Pertamina ke BP Migas diatur dalam Pasal 26 PP 42/2002.
9. Lihat Kirsten Bindeman, “The Response of Oil Contract to Extreme Price Movement”, Dept. Economics, Univ. of Oxford,October 2000. hal 2
10. Production Sharing Contract Between BP MIGAS and PT EES. Ditandatangani pada 12 Desember 2004. berdasarkan peta yang ada di dalamnya, pengusahaan minyaknya ada di lepas pantai
dan berada di kawasan yang marginal. Tampak dalam isi KPSnya.
11. Majalah Petrominer, “Performance Bond for KKS Contractors”, No. 11/November 15, 2005, hal 28
12. Kirsten bindemann, Ibid, hal 69.
13. Kirsten Bindemann, ibid, hal 6.
14. Rudi M. Simamora, ibid, hal 100 -101
15. Kompas, Sabtu, 15 Maret 2008. biaya-biaya yang dikeluarkan dari cost recovery antara lain Tax Consultant, biaya bunga atas pinjaman untuk membiayai usaha perminyakan, dan beban biaya training expatriate serta biaya merger. Selain itu ada pembatasan pada biaya community development, biaya public relation, dsb.
16. lihat misalnya Kirsten Bindemann, op cit, hal 8 atau Rudi M. Simamora, Op cit, hal 96
17. Pembagian hasil itu ada di dalam SECTION VI: RECOVERY OF OPERATING COSTS AND HANDLING OF PRODUCTION, paragraph 6.1.3.
18. lihat Kirsten Bindemann, Op cit, hal 7.
19. Lihat Rudi M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Jakarta: Djambatan, 2000, hal 95 dan di dalam lampiran A.
20. lihat Kirsten Bindemann, ibid, hal 69, Rudi M. Simamora, Ibid, hal 110 -111 dan Salim HS, Ibid, hal 274
21. Perubahan KPS ini untuk mengantisipasi turunnya harga minyak, naiknya biaya produksi dan semakin ketatnya kompetisi memperebutkan modal di tingkat internasional.
22. Section V, paragraph 5.2.18 dan paragraph 5.3.2
23. lihat makalah Sutadi Pudjo Utomo, Format Kontrak Migas yang Menjamin Kebutuhan Domestik, yang disampaikan dalam FGD Jatam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar