01 April 2008

Analisis atas Ketentuan-ketentuan Pokok Kontrak Production Sharing di Indonesia [2]

Lanjutan....

D. Isi Kontrak Production Sharing

Dalam menganalisa isi KPS itu, penulis berpedoman pada PP No. 35 Tahun 1994 dan contoh KPS yang penulis miliki, sebagai perbandingannya. Contoh KPS yang dimaksud adalah generasi terbaru di mana kedudukan PERTAMINA telah diganti oleh BP MIGAS. Sebenarnya UU No 22 Tahun 2001 juga telah menetapkan bahwa syarat-syarat dan ketentuan yang ada di dalam KKS [termasuk KPS] akan diatur kemudian di dalam sebuah Peraturan Pemerintah. Sampai sekarang PP tersebut belum ada. Dalam peraturan peralihan UU Migas disebutkan bahwa segala peraturan pelaksana dari UU No. 44 Prp tahun 1960 dan UU No 8 Tahun 1971 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru yang didasarkan pada UU ini. Menurut PP No. 35 Tahun 1994, sebuah KPS setidak-tidaknya harus mengatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

[1] Pengaturan Manajemen KPS


Penulis telah menjelaskan hal ini di atas pada saat menjelaskan tentang prinsip manajemen ada di tangan PERTAMINA [sekarang BP MIGAS], yang meliputi masalah: penyampaian Rencana Kerja dan Rencana Anggaran Belanja kontraktor ke BP MIGAS; pengawasan BP MIGAS terhadap pelaksanaan Rencana Kerja dan Rencana Anggaran Belanja Kontraktor; pembukuan harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku di dalam sistem pembukuan pertambangan minyak dan gas di Indonesia; permohonan
kontraktor dalam hal penempatan tenaga kerja yang harus disetujuioleh BP MIGAS, khususnya mengenai tenaga kerja asing, kontraktor harus mendapatkan ijin dari Menteri; kontraktor juga punya kewajiban untuk melaksanakan program pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja Indonesia.

Pengutamaan pemakaian dan pelatihan tenaga kerja lokal. Ketentuan ini masih didasari kepentingan Indonesia untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian dalam mengusahakan sendiri
kekayaan alam yang dimilikinya. Dalam PP No 35 Tahun 1994 disebutkan bahwa kewajiban kontraktor ini dimaksudkan dalam rangka alih teknologi.

Dalam KPS yang dimiliki penulis, ketentuan ini diatur dalam dua tempat:
Bagian V Paragraf 5.2.13 yang mengatur mengenai Hak dan Kewajiban Para Pihak, serta Bagian XIII tentang Penggunaan dan Training Tenaga Kerja Indonesia. Dalam Bagian XIII ini diatur juga bahwa biaya untuk training tenaga kerja Indonesia itu selanjutnya akan dihitung sebagai biaya
operasi.

[2] Wilayah Kerja dan Pengembalian Wilayah Kerja

Setiap kontraktor hanya diberikan satu wilayah kerja. Dengan demikian maka perusahaan yang mengusahakan beberapa wilayah kerja harus membuat beberapa perusahaan terpisah untuk masing-masing wilayah kerja tersebut. Dalam jangka waktu yang ditentukan kontraktor harus mengembalikan sebagian wilayah kerjanya secara bertahap atau seluruhnya kepada Pemerintah [dulu kepada PERTAMINA]. Maksud dari pengembalian sebagian wilayah kerja ini adalah untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan wilayah pertambangan minyak dan gas bumi.

Dalam contoh KPS yang ada, pengembalian itu dilakukan pada tahun ketiga kontrak sebesar 25% dari total wilayah kerja asal. Jika pada tahun ketiga kontrak itu, kontraktor tidak memenuhi Rencana Kerjanya maka ia diharuskan mengembalikan 15% lagi tambahan dari total wilayah kerja
asal pada akhir tahun ketiga tersebut. Sehingga pada tahun keenam dari kontraknya, kontraktor diwajibkan untuk berusaha di wilayah kerja yang luasnya tidak boleh lebih luas dari 20% dari total wilayah kerja asal.

[3] Pembiayaan dan Pelaksanaan

Sesuai dengan prinsip KPS maka kontraktor diwajibkan menyediakan dana untuk investasi dan menanggung semua biaya operasi. Kontraktor harus menyediakan biaya minimum dan kegiatan minimum dalam tahap eksplorasi,yang disesuaikan dengan kesepakatan antara kontraktor dan BP MIGAS.
Istilahnya adalah firm commitment. Kontraktor dalam jangka waktu selambat-lambatnya 180 hari sejak KPS ditandatangani harus segera melakukan pelaksanaan usaha eksplorasi [dalam contoh KPS yang penulis miliki, jangka waktu itu adalah selambat-lambatnya 6 bulan setelah kontrak disetujui]. Jika selama jangka waktu itu, kontraktor tidak melaksanakan kewajibannya, maka BP MIGAS akan melaporkannya pada Menteri. Namun PP ini tidak mengatur apa yang harus dilakukan pada kontraktor yang walaupun sudah ada teguran dari Menteri tetap tidak memulai kewajibannya. Peraturan tentang “performance Bond” karenanya harus ada di dalam KKS. Performance bond ini merupakan jaminan berupa
uang yang diberikan oleh kontraktor, yang jika dalam jangka waktu tertentu kontraktor tidak memulai usahanya atau dalam usahanya tidak memenuhi target minimal sebagaimana menjadi komitmennya, maka uang jaminan itu akan hilang dan masuk ke rekening pemerintah.

[4] Pembagian Hasil
Pembagian hasil produksi minyak dan gas bumi ditetapkan oleh menteri. Dengan kewajiban bahwa pembagian hasil itu harus menguntungkan bagi negara. Dalam PP No. 35 Tahun 1994 disebutkan bahwa penerimaan pemerintah sekurang-kurangnya 60% dari penerimaan bersih usaha [net operating
income] atas hasil KBH sebelum dibagi antara PERTAMINA dengan Kontraktor. Dalam sejarahnya ada banyak pola pembagian hasil dalam sistem KPS. Pada generasi pertama KPS, polanya adalah untuk minyak: 65/35. Pada generasi kedua KPS [1978 – 1987], polanya adalah untuk minyak: 65,91/34,09 dan untuk gas: 31, 80/68,20. Pada generasi ketiga KPS [1988 – 2002] polanya berubah, minyak: 65/15 dan gas: 70/30. Terakhir pola itu berubah kembali dengan 85/15 untuk minyak dan gas 70/30.

Selain itu perlu juga diperhatikan pola pembagian hasil dalam KPS yang dibuat pada tahun 1988, sebagai Generasi Ketiga KPS, disebutkan adanya insentif bagi perusahaan yang mengusahakan
pertambangannya di ladang minyak marginal, dengan pembagian profit-oil sebesar 75/25, dengan bagian terbesar untuk negara. Kemudian pada tahun 1994, pembagian itu diperbesar menjadi 65/35. Pada tahun 1992, berdasarkan “Paket 92”, disebutkan bahwa pembagaian hasil untuk gas adalah dari 70/30 menjadi 65/35 untuk ladang biasa dan 60/40 untuk ladang marginal.

Pelaksanaan pembagian hasil ini dilakukan pada titik penyerahan [point of lifting]. Pada dasarnya titik itu ada di titik ekspor [point of exsport]. Sedangkan untuk minyak yang wajib diserahkan kepada pemerintah, maka titik pelaksanannya ada di titik pengiriman [point of delivery].

Domestic Market Obligation. Ketentuan ini merupakan pembebanan kepada kontraktor untuk menyalurkan sejumlah tertentu bagian profit oil-nya ke dalam negeri. Kebijakan ini harus ditentukan oleh menteri. Semua bentuk kerja sama dalam pengelolaan minyak dan gas di seluruh dunia pasti mengenal ketentuan mengenai DMO ini. Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam
DMO ini. Pertama, berapa banyak kontraktor harus menyerahkan minyaknya ke pasar domestik dan dengan harga berapa? Dan kedua, berapa kebutuhan domestik itu sendiri?

Pada generasi pertama KPS, kontraktor diwajibkan menyerahkan 25% dari bagian minyak yang diterimanya [profit oil] untuk pasar domestik dan akan dikenakan harga 15% dari harga pasar. Dalam KPS generasi kedua [sejak tahun 1976], harga dari DMO itu adalah setara dengan harga pasar selama lima tahun pertama produksi. Untuk selanjutnya harganya 10% harga pasar. Dalam kontrak KPS yang
ditandatangi pada tahun 1988 dan selanjutnya disebutkan bahwa harganya adalah 15% dari harga pasar dan ada insentif bagi lapangan baru yang menjual minyaknya dalam rangka DMO dengan harga yang lebih tinggi.

Dalam UU Migas ditetapkan bahwa kewajiban kontraktor untuk DMO ini adalah maksimal 25% dari profit oil-nya. Dengan kata lain bisa saja kontraktor tidak menyerahkan minyaknya alias 0 %. Ketentuan ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam KPS yang ada di tangan penulis, disebutkan dalam Bagian V, paragraf 5.2.16. bahwa kewajiban DMO itu dikenakan pada bagian profit-oil-nya kontraktor. Harga yang dikenakannya adalah 25% dari harga yang diberikan pada minyak yang dipergunakan kontraktor sebagai cost recovery-nya.
Kontraktor bisa terlepas dari kewajiban DMO pada suatu tahun jika cost recovery-nya melebihi jumlah penjualan minyaknya dari ladangnya [namun kewajiban FTP tetap harus didahulukan].

Cost recovery. Dikarenakan kontraktor menanggung semua biaya operasi usaha pertambangannya maka dia berhak mendapatkan pengembalian biaya operasinya [cost recovery atau cost oil atau recovery of operation cost] yang diperhitungkan dari hasil produksi komersial. Dasar pemikirannya adalah pada hakekatnya seharusnya negaralah yang melakukan pengusahaan minyak itu, namun karena tidak punya modal, keahlian dan tenaga terdidik, maka negara “meminjam” dulu modal, tenaga kerja dan keahlian dari perusahaan yang mau menjadi kontraktornya. Yang nantinya biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor itu akan diganti oleh negara. Dengan demikian yang menanggung biaya operasi sebenarnya adalah negara.

Tapi seberapa besar? PP No 35 tahun 1994 tidak menentukan angkanya. Tiap-tiap negara menerapkan persentase yang berbeda-beda. Sampai sekarang, demikian Kirsten Bindemann, negara dengan sistem KPS
menerapkan persentase sebesar 40, 50 atau 100 persen.

Sebelum dekade tahun 1970-an, rata-rata negara yang menerapkan sistem KPS menerapkan pengembalian biaya operasinya sebesar 0 atau 40 % dari pengambilan dan penjualan hasil produksi. Indonesia juga awalnya berlaku demikian. Sampai pada 31 Desember 1973, Indonesia menerapkan pengembalian biaya operasi sebesar 40% dari pengambilan dan penjualan hasil produksi.

Karena adanya windfall profit yang diterima oleh perusahaan minyak antara tahun 1973-1974, maka pemerintah Indonesia menerapkan tambahan pembayaran tunai terhadap kontraktor. Tambahan pembayaran tunai itu ditentukan pada kenaikan harga minyak di pasaran dengan harga dasar sebesar US $5 per barrel. Jika harga minyak lebih tinggi dari harga dasar tersebut maka pembagian minyaknya naik
untuk bagian negara. Sebagai kompensasinya, kontraktor dibebaskan dari kewajiban pembayaran sewa barang bergerak.

Namun terhitung mulai 1 Januari 1976, dengan mulai turunnya harga minyak serta menyadari bahwa tawaran yang ada mengenai pengembalian biaya operasi itu tidak menarik minat investor, maka pemerintah menerapkan biaya operasi yang bisa diganti untuk kontraktor sebesar 100%. Jika produksi
pada tahun yang bersangkutan tidak mencukupi untuk menutup biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor, kekurangannya itu bisa dikembalikan pada tahun-tahun selanjutnya. Ketentuan terakhir ini tetap berlaku sampai sekarang. Hanya saja, apa apa saja yang bisa dianggap sebagai biaya operasi mengalami perubahan.

Dalam contoh KPS, pengaturan tentang pengembalian biaya operasi ini diatur dalam bagian VI, paragraf 6.1.2. di mana kontraktor mendapatkan kembali 100% biaya operasinya serta 80 % dari investasi kapital yang dikeluarkan secara langsung untuk membangun fasilitas produksi minyaknya. Adanya kredit investasi ini merupakan petunjuk adanya insentif bagi pengusahaan wilayah yang sulit dan tidak menarik.

Di sisi yang lain penerapan cost recovery ini membutuhkan sistem pengawasan yang bagus, jujur dan efisien. Jika sistem pengawasan itu tidak berjalan dengan efektif maka cost recovery hanya akan dimanfaatkan oleh kontraktor untuk meraup keuntungan yang tidak halal atau melakukan operasi yang
tidak efisien atau malah dimanfaatkan oleh oknum birokrat untuk memperkaya diri sendiri.

Penulis memilih untuk hati-hati ketika masuk dalam perdebatan tentang apakah harus atau tidak harus cost recovery ini diterapkan terus dalam KPS Indonesia. Dari beberapa bacaan yang penulis peroleh, banyak pihak yang nampaknya keberatan dengan sistem cost recovery ini. Rudi M. Simamora, mencatat bahwa cost recovery ini merupakan bukti in-efisiensi di tubuh PERTAMINA [dulu,
sekarang BP Migas apakah sama?] dan karenanya merugikan negara. Hal itu disebabkan, antara lain, kontraktor akan memasukkan sebanyak mungkin pengeluaran dalam bentuk non capital dan menghindari sejauh mungkin yang bersifat biaya kapital [seperti lebih memilih untuk menyewa mobil atau komputer daripada membelinya]; sementara dampak lainnya adalah cost recovery ini mendorong kontraktor untuk menerapkan pembebanan yang tidak jujur [yang sebenarnya perusahaan itu jadi tidak efisien] serta dalam pengawasannya yang dilakukan oleh PERTAMINA juga membutuhkan biaya yang besar. Belum lagi masalah kolusi dan korupsi yang nampaknya diperbesar kemungkinan terjadinya dengan adanya sistem cost recovery ini.

Maka beliau menyarankan untuk mengganti sistem cost recovery ini dengan membebankan seluruh biaya operasi itu kepada pihak kontraktor tanpa ada pengembalian kembali dan sebagai kompensasinya,
memberikan pembagian hasil produksi yang lebih besar kepada kontraktor dari persentase yang berlaku sekarang. Hal tersebut telah berhasil dilakukan oleh negara Libya. Dengan demikian kontraktor diharapkan akan lebih efisien dan optimal dalam pengeluaran operasinya.

Walaupun demikian, berdasarkan data dari S. Zuhdi Pane di atas, terlihat bahwa dengan sistem KPS yang ada, termasuk penerapan cost recovery ini, Indonesia tetap lebih diuntungkan. Indonesia mengambil bagian 66% dari keseluruhan pendapatan dari pengusahaan minyak yang telah dilakukan
sejak pertama kali sistem KPS diterapkan, pada tahun 1966 sampai dengan tahun 2001. Yang dalam catatan beliau adalah yang tertinggi di dunia untuk sistem KPS.

Jadi pilihan yang ada pada penulis adalah apakah kita, Indonesia, ingin mendapatkan lebih? Nampaknya apa yang disarankan oleh Rudi M. Simamora itu cukup baik: cost recovery dihilangkan. Namun dari data yang disodorkan oleh S. Zuhdi Pane di atas kelihatan bahwa sistem yang berjalan sebenarnya menguntungkan banyak bagi Indonesia. Secara tersirat penulis menangkap bahwa kalau cost
recovery memang bermasalah bagi beberapa pihak dan jadi salah satu aspek kebocoran negara, maka jangan sistemnya yang diganti, tapi pengawasan terhadap sistem itu yang perlu diperbaiki. Karena cost recovery ini adalah sistem yang bisa menjadi daya tarik bagi investor perminyakan di dunia.

Dengan keterbatasan data yang penulis punya, maka penulis belum bisa meneliti bagaimana keadaan BP MIGAS dalam menangani masalah cost recovery ini, apakah menjadi lebih baik atau tidak. Tapi yang pasti hasil penelusuran dari BPK menunjukkan bahwa negara dirugikan dengan adanya cost recovery ini yang disebabkan, antara lain, kontraktor KKS melakukan mark-up biaya operasi dan
memasukkan biaya-biaya yang sebenarnya bisa dianggap sebagai biaya operasi ke dalam biaya operasi sehingga memperbesar biaya cost recovery yang harus diganti oleh pemerintah.

Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah lewat tim gabungan yang terdiri dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), BP Migas, Departemen Keuangan, BPK-RI, dan BPKP, meneliti kembali
biaya-biaya apa saja yang bisa dimasukkan ke dalam cost recovery dan memutuskan ada biaya-biaya tertentu yang tidak seharusnya dimasukkan sebagai cost recovery. Peranan BP Migas sangatlah penting dalam hal ini, karena lembaga inilah yang berhak mengatur mengenai komponen-komponen operasi apa saja yang bisa diganti oleh pemerintah.

Dalam pandangan penulis, keputusan itu kurang kuat jika tidak didukung dengan pengaturan masalah cost recovery dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang kuat dan tidak hanya imbauan.

Profit Oil. Profit oil adalah hasil produksi minyak setelah dikurangi cost recovery dan royalti [FTP kalau di Indonesia] yang akan dibagi berdasarkan persentase tertentu yang telah disepakati antara kontraktor dengan negara. Dari berbagai bacaan yang penulis temui, kontraktor
selalu mendapatkan bagian yang paling kecil. Kirsten Bindemann, bahkan menetapkan bahwa bagian terbesar bagi kontraktor yang tercatat dalam sistem KPS adalah sebesar 50%.

Namun dalam KPS Indonesia yang penulis punya, angka itu mencapai 62,5% untuk bagian kontraktor dan 37,5 % untuk bagian BP Migas. Sedangkan untuk gas pembagiannya adalah 71,4286% untuk Kontraktor dan 28, 5714% untuk BP Migas.

Dalam perhitungan penulis, jika pun kemudian pada profit oil ini dikenakan pajak penghasilan yang sebesar 48%, maka pola pembagian hasil yang lazim 85/15 sepertinya tidak akan terpenuhi.

Dengan angka yang cukup besar di atas, nampaknya negara berharap bahwa investor bisa masuk ke dalam negeri karena adanya kelesuan investasi atau bisa juga dianggap sebagai insentif bagi kontraktor yang mau mengeksploitasi wilayah minyak marginal [potensi cadangan minyaknya sedikit] atau berada di daerah terpencil, atau yang mempunyai kesulitan teknis yang tinggi.

Royalti atau First Tranche Petroleum [FTP]. Di dalam sistem KPS awal Indonesia, tidak mengenal yang namanya royalti. Hal ini nampaknya dilakukan untuk memperjelas posisi sistem KPS yang berbeda dengan sistem konsesi. Begitu juga KPS-KPS awal lainnya di negara-negara yang menerapkannya. Tapi royalti mulai diterapkan dalam sistem KPS ketika harga minyak mulai naik pada tahun 1972, yang angkanya bisa mencapai 20% dari jumlah produksi kotor pada tahun 1978.Tapi kebanyakan KPS tetap tidak menerapkan royalti.

Hal itu menunjukkan dalam perkembangannya sistem yang dipakai dalam pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi di dunia ini saling berinteraksi; tidak ada lagi yang menurut sebagaimana diteorikan dan membuat batasan yang dulunya kaku mulai membaur. Walaupun ciri utamannya tetap
kelihatan. Dalam sistem KPS sendiri, perubahan yang besar terjadi karena adanya dua peristiwa besar dalam sejarah pengusahaan minyak dunia, yakni krisis minyak tahun 1972, yang diawali dengan embargo Arab Saudi terhadap kapal-kapal tanker yang hendak membawa minyak ke Amerika Serikat; serta pada tahun 1978-1980, ketika rezim shah Iran, boneka Amerika Serikat, dijatuhkan oleh Imam Khomeini dan kejatuhannya itu didukung oleh adanya boikot para pekerja minyak di Iran – yang waktu
itu merupakan pemasok kedua terbesar minyak setelah Arab Saudi – yang membuat pasokan minyak ke dunia terhambat. Dua peristiwa itu mempengaruhi syarat-syarat di dalam KPS. Ada beberapa lagi peristiwa atau kebijakan di luar negara penghasil minyak yang juga berpengaruh dalam syarat-syarat KPS, yang akan penulis tuliskan di bawah.

Indonesia sendiri dalam perkembangannya, untuk mengantisipasi turunnya harga minyak mentah di pasaran dunia, menerapkan yang namanya First-Tranche Petroleum [FTP] pada tahun 1988, yang berbagai kalangan menyebutnya sebagai quasi-royalti. Dalam sistem FTP ini, 20% pertama dari produksi akan dibagi sama rata antara perusahaan minyak dengan PERTAMINA. Baru setelah itu perusahaan minyak berhak atas cost oil-nya.

Tetapi penjelasan dari Kirsten Bindemann itu agak berbeda dengan isi Kontrak Production Sharing yang penulis punyai. Dalam paragraf 6.3.1 yang mengatur mengenai FTP disebutkan bahwa BP Migas berhak untuk pertama mengambil dan menerima setiap tahunnya berupa minyak sebesar 10% dari produksi minyak pada tahun yang bersangkutan, sebelum ada pembagian untuk penggantian biaya operasi, kredit investasi dan pengaturan produksi yang ditetapkan dalam Bagian VI kontrak ini.

Sementara dalam paragraf 6.3.2. disebutkan bahwa FTP yang diterima tiap tahun ini tidak akan dibagi dengan kontraktor. Jadi tidak ada pembagian sama rata dengan perusahaan minyak. Dengan kata lain, jika mengikuti isi kontrak tersebut, maka Indonesia pada dasarnya menerapkan pembebanan royalti, tapi dengan istilah yang berbeda.

Jumlah sepuluh persen itu tidaklah mutlak, karena BP MIGAS bisa menaikkan atau menurunkan angka
itu tergantung pada kebutuhan dan situasi kondisi yang melingkupinya, karena dalam penjelasan Rudi M. Simamora, angka itu berkisar pada jumlah 15 % sampai 20%.

Pajak dan Bonus. Kontraktor diwajibkan untuk membayar pajak-pajak sebagaimana ditentukan di dalam UU tentang perpajakan. Selain itu pemerintah bisa menetapkan pembebanan pembayaran
lain kepada kontraktor selain pajak, seperti bonus atau restribusi.

Dalam sistem KPS, pada awalnya pajak pendapatan dibayar oleh perusahaan negara atas nama kontraktor. Karena kontraktor hanyalah pelaksana dari keinginan negara. Namun pada saat ada Krisis Minyak, dengan keuntungan besar yang didapatkan oleh perusahaan, semakin banyak kontraktor yang
membayar sendiri pajaknya. Walaupun kebanyakan tetap perusahaan negara yang mengurusnya.

KPS Indonesia juga mengalami hal yang hampir sama. Di KPS generasi Pertama, pajak pendapatan dibayarkan oleh PERTAMINA atas nama kontraktornya kepada pemerintah. Namun pada tahun 1976, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan IRS [Internal Revenue Service] baru yang membuat perusahaan minyak Amerika tidak masuk dalam daftar perusahaan yang mendapatkan tax credit [istilahnya ‘foreign tax credit’]. Hal ini disebabkan karena pembayaran pajak penghasilan yang
dilakukan oleh kontraktor [tapi dilakukan oleh PERTAMINA], tidak bisa diperhitungkan sebagai tax credit. Untuk membantu perusahaan Amerika Serikat tersebut, pemerintah Indonesia berbaik hati melakukan perubahan pada isi KPS [sehingga disebut sebagai KPS Generasi Kedua] dengan
mewajibkan pada kontraktor untuk membayar pajak penghasilannya langsung kepada pemerintah. Dengan cara seperti itu, perusahaan Amerika Serikat berhak atas pengurangan pajak di Amerika Serikat.

Besarnya pajak penghasilan itu [pajak terhadap profit oil bagian kontraktor] adalah sebesar 56%. Namun pada tahun 1984, Indonesia mengeluarkan peraturan pajak baru yang menetapkan pajak penghasilan dalam KPS adalah sebesar 48% dan baru ditetapkan untuk KPS yang ditandatangani pada
tahun 1988 [disebut sebagai KPS Generasi ketiga].

Dalam KPS yang penulis lihat, kontraktor diwajibkan untuk membayar pajak penghasilan [income tax] dan pajak terhadap keuntungan setelah terkena pajak [final tax on profits after tax deduction]. Pajak lain yang harus dibayar oleh kontraktor adalah pajak tembakau, liquor [minuman beralkohol] dan pajak penghasilan pegawainya serta pajak penghasilan dan pajak-pajak lain dari kontraktor-kontraktornya atau subkontraktor-subkontraktornya.

Pajak-pajak lainnya akan dibayar oleh BP MIGAS, termasuk Pajak Pertambahan Nilai, pajak pemindahan
[transfer tax], bea masuk ekspor dan impor untuk barang material, peralatan dan supply yang didatangkan oleh kontraktor.

Setelah UU Migas berlaku, kontraktor dalam sistem KKS diwajibkan membayar pajak dan non-pajak. Pembayaran pajak itu meliputi pajak-pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor atau cukai, pajak daerah dan restribusi daerah. Sementara pembayaran non-pajak meliputi bagian negara [profit
oil bagian negara], pungutan negara berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi serta bonus-bonus.

Beberapa pihak ada yang keberatan dengan ketentuan baru pajak ini. Karena dalam sistem lama KPS, kegiatan eksplorasi itu tidak dikenakan pajak pertambahan nilai. Sementara dalam ketentuan baru UU Migas, yang dimaksud usaha hulu adalah eksplorasi dan eksploitasi, sehingga kedua kegiatan itu
dikenakan pajak. Akibatnya adalah kegiatan eksplorasi menurun, sehingga tidak ada penemuan ladang minyak dan gas baru. Ini punya akibat pada pasokan minyak dan gas bagi dalam negeri Indonesia.

Selain itu, dengan dimulainya era otonomi daerah, makin banyak pajak daerah dan restribusi daerah yang dikenakan yang membuat beban kontraktor menjadi berat.

Dalam hal bonus, Indonesia mengenal tiga jenis bonus, yakni bonus data, bonus tanda tangan [signature bonus], dan bonus produksi [production bonus]. Bonus ini merupakan pembebanan pada
kontraktor dan tidak boleh dimasukan ke dalam biaya operasi. Dalam KPS yang penulis punya, ada juga bonus yang harus diberikan kepada Pemerintah Indonesia dalam bentuk peralatan atau jasa untuk tujuan khusus dalam jumlah tertentu, yang harus dibayarkan kontraktor selama tahun pertama perjalanan kontraknya.

[5] Pengalihan Hak dan Kewajiban

Pasal 20 PP No 35 tahun 1994 menyebutkan bahwa kontraktor, setelah mendapatkan persetujuan PERTAMINA, dapat menjual, menyerahkan, memindahtangankan, dan atau melepaskan sebagian atau seluruh hak dan kewajibannya berdasarkan KBH kepada pihak lain. Pelaksanaan pemindahan
tersebut baru bisa berjalan setelah mendapatkan persetujuan menteri serta setelah kontraktor tersebut memenuhi kewajibannya berdasarkan KBH.

Namun dalam contoh KPS di tangan penulis, proses pemindahan itu didasarkan pada perusahaan afiliasi atau bukan. Jika pemindahan hak dan kewajiban itu dilakukan kepada perusahaan afiliasinya, maka kontraktor tidak perlu mendapatkan ijin tertulis terlebih dahulu dari BP Migas. BP Migas hanya akan diberitahu secara tertulis proses pemindahan hak dan kewajiban itu serta diberitahu juga bahwa perusahaan afiliasi yang mendapatkan pemindahan hak dan kewajiban tersebut pada saat itu tidak sedang memegang KPS lain. Sedangkan jika pemindahan hak dan kewajiban
itu diserahkan pada bukan perusahaan afiliasi, maka pemindahan itu baru bisa dilakukan setelah mendapatkan ijin tertulis dari BP Migas dan Pemerintah Indonesia. Perusahaan yang mendapatkan pemidahan hak dan kewajiban itu tidak boleh pada saat yang sama memegang KPS lain.

Perusahaan afiliasi berarti adalah perusahaan atau bentuk lainnya yang mengontrol atau dikontrol oleh salah satu pihak dalam KPS atau perusahaan atau bentuk lainnya yang mengontrol atau dikontrol oleh satu perusahaan atau bentuk lainnya yang mengontrol salah satu pihak di dalam KPS.

Participating interest. Yang masuk di dalam ketentuan angka lima ini juga adalah bahwa kontraktor asing wajib memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional untuk terlibat dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi. Maksud keikutsertaan itu adalah dalam bentuk participating interest
[penyertaan kepentingan]. Dengan keikutsertaan dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi ini, maka diharapkan proses alih teknologi bisa berlangsung dengan lebih cepat, selain juga keinginan bahwa keuntungan yang didapat tidak hanya dinikmati oleh perusahaan asing itu saja serta dengan adanya perusahaan nasional itu diharapkan keuntungan yang didapatkan tidak dilarikan ke luar negeri, tapi ditanamkan kembali di dalam negeri. Dalam PP No 35 tahun 1994, kewajiban kontraktor ini
didasarkan pada kewajibannya untuk memperhatikan kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam pengembangan daerah dan pelestarian lingkungan. Dengan cara seperti itu kemajuan ekonomi boleh diharapkan.

Dalam contoh KPS, ketentuan di atas diistilahkan Indonesian Participant Interests [Saham untuk Partisipasi Indonesia]. Kontraktor pada saat Rencana Pembangunannya pertamanya disetujui oleh Pemerintah Indonesia, berkewajiban untuk menawarkan 10% saham tak terpisah [undivided interest] kepada BUMD [Badan Usaha Milik Daerah] atau perusahaan nasional Indonesia, yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia.

Penawaran itu pertama kali harus ditawarkan kepada BUMD. Jika BUMD tidak menerima tawaran itu, baru ditawarkan kepada perusahaan nasional Indonesia. Jika keduanya tidak tertarik dengan opsi tawaran itu maka kontraktor dilepaskan kewajibannya atas penawaran Saham untuk Partisipasi Indonesia ini. Jika salah satu di antara dua itu tertarik maka akan diadakan uji kelayakan dan kepatutan [due diligence] kepadanya. Setelah uji kelayakan dan kepatutan itu dilakukan, pihak
yang menerima tawaran [BUMD dan perusahaan nasional Indonesia] harus menyatakan kesediannya menerima tawaran itu. Jika di akhir uji kelayakan dan kepatutan itu BUMD atau perusahaan nasional Indonesia menolak tawaran itu maka kontraktor dilepaskan kewajibannya akan tawaran 10% saham tak-terpisahnya.

Untuk mengakuisisi saham 10% tersebut, maka BUMD atau perusahan nasional Indonesia harus mengganti
10% dari biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor serta 10% dari pembebanan pada kontraktor sebagaimana diatur dalam bagian VIII paragraf 8.1 [yakni bonus tanda tangan] dan paragraf 8.2 [yakni bonus yang harus diberikan kepada Pemerintah Indonesia dalam bentuk peralatan
atau jasa untuk tujuan khusus dalam jumlah tertentu, yang harus dibayarkan kontraktor selama tahun pertama perjalanan kontraknya.Jumlah maksimalnya adalah US $ 37.500].

Dalam Exhibit “D” point ke lima disebutkan bahwa peserta Indonesia mendapatkan kemudahan untuk
tidak dimasukkan dalam kegiatan usaha eksplorasi yang penuh resiko itu.

Namun jika usaha eksplorasi itu berhasil, maka kontraktor mendapatkan kompensasi yang seimbang dengan apa yang diusahakannya itu. Walaupun dalam jumlah saham yang masih minimal, ketentuan ini harus tetap didukung dan kalau bisa terus ditingkatkan persentase partisipasinya.

Ketentuan ini, dalam pandangan penulis, sangat penting untuk mengurangi monopoli perusahaan asing dalam sektor hulu pertambangan minyak dan gas di Indonesia sehingga cita-cita kemandirian bangsa dalam bidang energi bisa diwujudkan.

[6] Barang dan Peralatan

Ketentuan ini mengatur tentang kepemilikan barang dan peralatan yang dipergunakan dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi yang dibeli oleh kontraktor. Dalam PP No 35 Tahun 1994, semua barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor selama pelaksanaan usaha eksplorasi dan ekploitasi dimiliki oleh PERTAMINA. Jika barang dan peralatan itu dibeli dari luar negeri, maka akan menjadi milik pemerintah begitu barang atau peralatan itu masuk wilayah kepabeanan Indonesia, sedangkan jika di beli dari dalam negeri, maka titik perpindahan kepemilikannya adalah di saat penyerahan.

Ketentuan ini diatur dalam Bagian X tentang Kepemilikan Peralatan, di mana disebutkan dalam parapraf 10.1. bahwa barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor yang sesuai dengan Rencana Kerjanya menjadi milik Pemerintah Indonesia. Dalam paragraf 10.2. bahwa ketentuan dalam
paragraf 10.1. ini tidak berlaku bagi barang dan peralatan yang dimiliki oleh pihak ketiga yang sedang memberikan jasa sebagai kontraktor dari kontraktor yang langsung melakukan KPS dengan
Pemerintah Indonesia.

Barang dan peralatan itu tetap bisa dipergunakan oleh kontraktor walaupun KBH-nya sudah berakhir asalkan mendapatkan persetujuan dari PERTAMINA. Tapi bagaimana bentuk persetujuan itu? Apa kompensasinya buat negara, karena pada dasarnya dengan habisnya masa KBH-nya maka diasumsikan seluruh biaya operasinya telah dikembalikan sehingga keseluruhan barang dan peralatan yang ada
di sana adalah milik sepenuhnya PERTAMINA [pemerintah]? Apakah tidak seharusnya kontrak melakukan perjanjian sewa dengan pemerintah atas penggunaan barang dan peralatan tersebut? Atau apakah PERTAMINA menyerahkan begitu saja? Tidak ada penjelasan yang seksama pada pemasalahan ini.

Pengutamaan barang dan jasa dari dalam negeri. Ketentuan ini dimaksudkan supaya pertambangan minyak dan gas benar-benar bisa mendorong tumbuhnya perekonomian di tingkat lokal.
Dari PP No 35 tahun 1994, syarat tentang pengutamaan barang dan jasa lokal ini tidak diatur. Ketentuan ini justru diatur dalam Pasal 11 Ayat [3] UU Migas. Dalam contoh KPS yang penulis miliki, Ketentuan ini juga terdapat dalam Bagian V tentang Hak dan Kewajiban Para Pihak, paragraph
5.2.17.

[7] Jangka Waktu Kontrak

Jangka waktu KPS adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk masa 20 tahun lagi. Setelah 50 tahun
ini berakhir, maka BP Migas diberi kesempatan untuk mengusahakan sendiri pertambangan minyaknya di area tersebut. Masalahnya adalah secara legal BP Migas adalah BHMN, bukan BUMN atau badan usaha,
sehingga mau tidak mau BP Migas harus memakai jasa kontraktor lain.

Dalam masa 30 tahun itu termasuk masa eksplorasi yang 6 – 10 tahun. Jika diakhir masa eksplorasi itu tidak ditemukan minyak dalam jumlah yang layak secara komersial, maka kontrak dengan sendirinya berakhir. Sedangkan jika kontraktor setelah maksimal lima tahun setelah masa eksplorasinya habis tetap tidak bisa memproduksi minyak dalam jumlah yang layak secara komersial, maka kontraktor mempunyai kewajiban untuk mengembalikan wilayah kerjanya itu kepada Pemerintah Indonesia. Jika kontraktor tetap mempertahankan wilayah kerjanya yang tidak ditemukan
atau tidak bisa memproduksi minyak dalam jumlah yang layak secara komersial, maka kontraktor tersebut diharuskan mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Indonesia dan diharuskan membayar kompensasi kepada Pemerintah Indonesia sebesar US $ 100.000 per tahun, dan besar
kompensasi ini tidak boleh dimasukan ke dalam biaya operasi.

[8] Pengakhiran KPS

Dalam PP No 35 tahun 1994, ketentuan ini cukup diatur dalam satu pasal yang menyatakan bahwa sebelum berakhirnya jangka waktu KPS, maka PERTAMINA dapat mengajukan permohonan pengakhiran KPS kepada Menteri dengan disertakan alasan-alasan yang cukup.

Kontraktor tidak dapat menghentikan kontrak ini pada tiga tahun pertama tahun kontraknya, kecuali: [a]. Salah satu pihak menghentikan KPS karena berdasarkan persidangan arbitrase kesalahan satu pihak atas kontrak telah terbukti dan [b]. Jika kontraktor tidak bisa memenuhi target kewajiban tiga tahun pertama tahun kontraknya sebagaimana ditentukan dalam Rencana Kerja dan setelah berkonsultasi dengan BP Migas, kontraktor memutuskan untuk mengembalikan hak-haknya dan dilepaskan dari kewajibannya di dalam KPS.

Kontrak juga bisa dihentikan oleh BP Migas jika pada akhir tahun keenam dari tahun kontaknya, kontraktor tidak bisa membuktikan diri sebagai perusahaan yang baik dan bisa diandalkan dan
gagal untuk memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam KPS. BP Migas akan mengeluarkan “Performance deficiency Notice” atau “Catatan Kekurangan Penampilan”, yang di dalamnya berisi daftar kekurangan dari kontraktor. Kontraktor diberi waktu selama 120 hari untuk menghilangkan
kekurangan itu dan bisa diperpanjang jika ada kesepakatan dengan BP migas. Namun jika waktu itu telah habis, maka BP Migas akan menghentikan KPS. Kontraktor masih mempunyai hak untuk mempermasalahkan penghentian itu ke badan arbitrase.

[9] Penyelesaian Perselisihan

Dalam KPS yang penulis miliki, penyelesaian perselisihan itu diterakan didalam Bagian XI tentang Konsultasi dan Arbitrase. Pada dasarnya kedua belah pihak di dalam kontrak ini sama-sama berlaku berdasarkan itikad baik untuk mendapatkan kepentingannya masing-masing. Namun perselisihan
mungkin saja timbul karena ada pihak yang tidak melaksanakan hak dan kewajibannya berdasarkan kontrak ini atau karena adanya penafsiran yang berbeda pada ketentuan kontrak yang sama. Proses penyelesaian dalam KPS ini adalah dengan melakukan konsultasi antara para pihak untuk mencari
jalan terbaik dan jika tidak selesai, penyelesaiannya dengan jalan arbitrase yang cara-caranya disesuaikan dengan standar ICC [International Chamber of Commerce]. Keputusannya diambil dengan suara terbanyak dan bersifat final dan mengikat kedua belah pihak.

Dengan cara seperti ini, perselisihan bisa diselesaikan dengan waktu yang cepat, yang disesuaikan dengan iklim bisnis internasional. Tapi walaupun begitu, dengan adanya penyelesaian perkara lewat arbitrase, tidaklah mengurangi dan membatasi pemerintah Indonesia dalam mempergunakan hak-hak yang melekat kepadanya. Pemerintah Indonesia tetap mempunyai hak untuk melakukan tindakan yang dianggapnya perlu menegakkan kewajiban dari kontraktor atau maksud-maksud lainnya. Selain
karena KPS ini harus mematuhi hukum-hukum Indonesia.

[10] Keadaan Kahar

Keadaan kahar di dalam KPS ini diartikan sebagai penangguhan atau ketidakmampuan untuk melaksanakan suatu kewajiban sebagaimana ditentukan di dalam kontrak ini yang disebabkan oleh karena adanya sebab yang berada di luar kontrol dan tanpa ada kesalahan atau kekeliruan dari pihak BP Migas atau kontraktor. Keadaan kahar itu meliputi tapi tidak terbatas pada Takdir Tuhan atau perbuatan musuh masyarakat, badai lautan, kebakaran, kekerasan, perang [diumumkan atau
tidak diumumkan], blokade, perselisihan buruh, pemogokan, kerusuhan, pemberontakan, kerusuhan sipil, pengucilan, pembatasan, wabah penyakit, angin ribut, gempa bumi dan kecelakaan.

Akibatnya adalah adanya pertambahan waktu kontrak yang disesuaikan dengan waktu yang diperlukan
untuk menghilangkan atau menyelesaikan kerusakan akibat keadaan-keadaan yang dianggap kahar itu tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar