31 Maret 2008

Analisis atas Ketentuan-ketentuan Pokok Kontrak Production Sharing di Indonesia [1]

Oleh: Mumu Muhajir


A. Pendahuluan

Pada awalnya tulisan ini dimaksudkan untuk membedah secara detail, harapannya, ketentuan-ketentuan baku yang biasanya ada di dalam Kontrak Production Sharing atau KPS. Diharapkan dengan cara seperti ini bisa membantu pembaca yang kesulitan untuk mendapatkan contoh KPS yang memang sulit didapatkan dengan mudah sehingga bisa lebih membayangkan beragamnya ketentuan dalam KPS ini.

Pada perkembangannya, ternyata penulis juga menemukan beberapa “pasal” yang “bermasalah” yang didapatkan atas pemikiran sendiri penulis atau karena ia menjadi isu yang diceritakan banyak orang, seperti misalnya masalah Cost Recovery. Dari sana membuka pintu pada keinginan penulis untuk memberikan sedikit sumbang saran untuk perbaikan ke depan KPS ini. Bagian ini sengaja penulis tempatkan pada setiap pembicaraan mengenai ketentuan-ketentuan baku dalam KPS dan tidak ditempatkan di sub-bab tersendiri.

KPS merupakan bentuk kontrak dalam pengelolaan sumberdaya minyak yang berawal dari Indonesia. Yang kemudian pada tahun 1970-an menyebar ke negara-negara lain. Ia menjadi penambah sistem perijinan dalam perminyakan yang biasanya didominasi oleh sistem konsesi. Sekarang ini isi dan ketentuan dalam KPS sudah sangat beragam mengikuti perkembangan perminyakan di dunia. Tetapi beberapa ciri khas KPS tetap dipertahankan seperti misalnya pembagian keuntungan didasarkan pada hasil produksi serta pembagian hasil produksi dilakukan setelah dikurangi dengan biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor [cost recovery].

KPS merupakan salah satu contoh kontrak yang tidak dikenal oleh KUH Perdata atau dikatakan sebagai kontrak innominaat. Kontrak inominaat ini lahir dan berkembang dalam masyarakat. Karena kedudukannya itu kontrak inominaat ini bersifat khusus dibandingkan dengan kontrak-kontrak yang ada dan diatur oleh KUH Perdata. Khusus dalam arti kontrak inominaat ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, misalnya KPS harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perminyak-gasan yang berlaku di Indonesia. Barulah jika peraturan perundangan-undangan dimaksud tidak mengaturnya maka ketentuan itu harus tunduk pada KUH perdat, terutama Buku III.

Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang mengatakan bahwa semua perjanjian, baik yang bernama khusus maupun tidak tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini [Bab kedua Buku III tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian] serta bab yang lalu [Bab kesatu Buku III tentang perikatan-perikatan umumnya]. Namun beberapa penulis mengatakan bahwa kontrak inominaat ini secara umum tunduk pada semua ketentuan dalam Buku III KUH Perdata dan tidak hanya dua bab di atas.

Penjelasan di atas dirasa penting oleh penulis karena ketentuan lex specialis derogaat lex generali, kadang selalu dibaca secara sempit dimana menempatkan kontrak-kontrak yang dianggap khusus dalam pulau tersendiri yang terpisah dari lautan peraturan perundang-undangan yang lebih bersifat umum. KPS pun demikian, walaupun dia khusus tetapi sebenarnya ada banyak peraturan perundang-undangan lainnya yang secara tidak langsung mengikat KPS ini, seperti misalnya peraturan tentang lingkungan hidup dan ketenagakerjaan.

Anda bisa mendownloadnya di sini

B. Sejarah Pembentukan KPS

Nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di akhir dekade tahun 1950-an telah merubah sistem perijinan dalam pengelolaan minyak dan gas yang selama ini dilakukan atas dasar sistem konsesi. Akhirnya pada tahun 1963 hanya ada 3 perusahaan minyak besar [Stanvac, Shell dan Caltex] menolak untuk dilakukan nasionalisasi dan memilih untuk berganti sistem perjanjian dari sistem konsesi ke sistem kontrak karya yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia., yang berlaku mulai tahun 1983. Barulah pada tahun 1971, pada saat penandatanganan perpanjangan Kontrak Karya, 3 perusahaan besar minyak itu memutuskan beralih ke sistem KPS.

Tiga tahun setelah Kontrak Karya itu ditandatangani, pemerintah melalui PN PERMINA melakukan perjanjian dalam bentuk lain yang dilakukan dengan IIAPCO [Independent Indonesian American Petroleum Company] pada tahun 1966. Bentuk perjanjiannya sedikit lain dari Kontrak Karya dan lebih banyak mengambil khasanah hukum adat yang telah lama ada di Indonesia, yakni, Kontrak Production Sharing. Sebenarnya gagasan tentang KPS ini telah digulirkan oleh Ibnu Sutowo sejak tahun 1957, ketika dia menjabat sebagai presiden direktur di PT PERMINA, di Sumatera Utara dan ia menawarkan sebagai salah satu bentuk perjanjian dalam pertambangan minyak dan gas sewaktu berada di Venezuela, pada tahun 1960.

Bentuk Kontrak Production Sharing pernah juga ditawarkan oleh pemerintah pada tahun 1963 dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 20 Tahun 1963. Keppres ini dikeluarkan untuk menarik minat investor dari luar negeri dan tidak hanya untuk pertambangan minyak dan gas saja, tetapi juga pertambangan umum, mengingat adanya pandangan yang tidak simpatik dari para investor di luar negeri pada sistem Demokrasi Terpimpin, yang sangat etatis dan sentralistik itu. Tetapi nampaknya hanya dalam pertambangan minyak dan gas saja tawaran itu diterima. Memang masa antara tahun 1960 sampai dengan tahun 1965 merupakan masa yang suram bagi investasi asing di Indonesia.

Bentuk Kontrak Production Sharing itu menjadi sangat kuat secara hukum ketika pada tahun 1971 diundangkan UU No 8 tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Pasal 12 Ayat [1] UU tersebut menyebutkan bahwa: “Perusahaan dapat mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Production Sharing”. Kata “dapat” di sana mengindikasikan bahwa perusahaan [baca: PERTAMINA] dapat membuat kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk selain Kontrak Production Sharing itu. Dan memang banyak bentuk kontrak lain yang telah dilakukan PERTAMINA hingga sekarang yang selain Kontrak Production Sharing, seperti Technical Assistance Contract [TAC].

Kontrak Production Sharing ini baru berjalan setelah disetujui oleh Presiden. Presiden kemudian memberitahukan adanya kontrak tersebut kepada DPR. Dalam UU itu, begitu juga dalam UU No 44 Prp tahun 1960, tidak ditentukan isi atau klausul yang harus ada di dalam kontrak; kedua UU itu hanya menegaskan bahwa kontrak yang disetujui oleh pemerintah harus berisi syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi negara. Namun walaupun demikian Pasal 12 UU No 8 tahun 1971 telah menetapkan harus adanya guideline bagi penyusunan kontrak yang harus diatur dengan sebuah Peraturan Pemerintah. Peraturan tersebut baru ada pada tahun 1994, yakni PP No. 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. Dengan demikian KPS sebenarnya termasuk dalam kategori kontrak standar [secara umum, syarat-syarat apa yang harus ada di dalam KPS adalah sama, hanya isinya saja yang kadang berbeda. Yang menentukan syarat dan isi dari KPS adalah satu pihak yakni, Pemerintah Indonesia].

C. Definisi dan Prinsip-prinsip dalam KPS

UU No. 8 Tahun 1971 tidak memberikan definisi apa yang disebut Kontrak Production Sharing. Baru di dalam PP No. 35 tahun 1994, definisi Kontrak Production Sharing itu ada, begitu pun sudah berganti istilah menjadi Kontrak Bagi Hasil [KBH]. Menurut PP tersebut, Kontrak Bagi Hasil adalah bentuk kerjasama antara PERTAMINA dan kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. Karena berprinsip pada hasil produksi maka kepemilikan aset dan pengusahaan manajemen menjadi penting.
Dalam kontrak bagi hasil itu ada beberapa prinsip yang harus dilaksanakan, yakni:
1. Manajemen ada di tangan PERTAMINA
2. Kontraktor menyediakan semua dana, teknologi dan keahlian
3. Kontraktor menanggung semua risiko finansial
4. Besarnya bagi hasil ditentukan atas dasar tingkat produksi minyak dan atau gas bumi.

Tapi ada beberapa prinsip lain yang juga telah disepakati di dalam Kontrak Production Sharing Indonesia, antara lain:
1. Biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor akan diganti setelah ada produksi komersial [recovery of operation cost atau cost recovery];
2. Jangka waktu KPS selama 30 tahun;
3. Kontraktor harus mengembalikan sebagian wilayah kerjanya yang dianggap olehnya tidak dipergunakan lagi kepada negara;
4. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan domestik minyak dan gas bumi;
5. Pembelian atas barang-barang atau alat-alat operasi sebagaimana telah disepakati di dalam Rencana Kerja akan menjadi milik Pemerintah Indonesia;
6. Minyak dimiliki oleh negara dan pindah ke kontraktor pada titik ekspor [point of export], kecuali untuk minyak yang diwajibkan diberikan kepada pemerintah Indonesia, akan berpindah pada titik penyerahan [point of delivery];
7. Kontraktor berkewajiban untuk memanfaatkan pekerja-pekerja lokal dan memberikan pelatihan atau training kepada mereka;
8. Kontraktor wajib membayar pajak penghasilan secara langsung kepada pemerintah Indonesia.

Dengan manajemen ada di tangan PERTAMINA, maka kontraktor diharuskan menyerahkan Rencana kerja dan Rencana Anggaran Belanja yang diperlukan dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi kepada PERTAMINA untuk mendapatkan persetujuan. PERTAMINA juga berkewajiban mengawasi jalannya Rencana Kerja dan Rencana Anggaran Belanja sebagaimana yang telah disetujui tersebut. Selain itu untuk setiap penggunaan dan penempatan tenaga kerja di wilayah kerjanya, kontraktor harus memberitahukan kepada PERTAMINA untuk mendapatkan persetujuan. Sedangkan jika kontraktor tersebut ingin mempergunakan tenaga asing harus mendapatkan persetujuan dulu dari Menteri ESDM. Dengan demikian PERTAMINA dan tentu saja negara, mempunyai kekuatan yang cukup kuat dalam mengendalikan produksi minyak dan gas bumi, walaupun, sebagaimana diketahui bersama, yang memegang kendali operasi tetap perusahaan minyak [kontraktornya].

Dalam perkembangannya, peran PERTAMINA itu diganti oleh Badan Pelaksana Pelaksana Hulu Minyak dan Gas [BP MIGAS] berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas bumi. Para pihak dalam UU No 22 Tahun 2001 ini berubah menjadi BP MIGAS dan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap. PERTAMINA lalu dianggap sama sebagai badan usaha saja.

Setelah terbentuknya BP MIGAS maka semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari KPS antara PERTAMINA dengan pihak lain beralih ke BP MIGAS. Setelah PERTAMINA menjadi persero, kedudukannya tidak lagi sebagai perusahaan negara sebagai pemegang kuasa pertambangan sebagaimana diatur dalan UU No 44 Prp Tahun 1960. Pemegang kuasa pertambangan sekarang berada di tangan pemerintah c.q. Menteri ESDM. Sementara pelaksana dari pemegang kuasa pertambangan itu adalah BP MIGAS, sebuah badan hukum milik negara, bukan berbentuk perusahaan, yang sengaja dibentuk. Karena itulah dalam kegiatan hulu, PERTAMINA harus melakukan Kontrak Kerja Sama dengan BP MIGAS.

Dengan demikian, posisi negara sangatlah kuat, sekaligus juga rawan. Dia adalah pemilik sumber daya, regulator dan juga pemain dalam kegiatan pertambangan. Rawan karena bagaimana pun juga pertambangan minyak tetaplah kegiatan ekonomi yang penuh resiko, membutuhkan kelincahan dalam bergerak sehingga apabila pemerintah melakukan kesalahan maka dampaknya adalah kena langsung pada pemerintah; sekaligus juga harus hadir sebagai pihak jika ada sengketa dengan pihak kontraktor.

Istilah untuk perjanjiannya pun berbeda, yakni, Kontrak Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama ini adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan penjelasan ini, KPS adalah salah satu bentuk kontrak kerja sama yang diperkenankan karena sebenarnya pemerintah Indonesia membuka kesempatan adanya bentuk kontrak lain dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas selain KPS. Karena di dunia ini ada sistem lain yang masih dipakai, yakni sistem konsesi, kontrak jasa dan usaha patungan. KKS jadinya hanyalah istilah umum untuk mewadahi kontrak-kontrak kerja sama dalam kegiatan hulu di Indonesia.

Kirsten Bindemann, mencoba menyederhanakan bentuk KPS ini dari bentuk kontrak lain dengan menggunakan dua ciri. Pertama, dalam KPS, perusahaan minyak [asing] bertanggung jawab atas semua resiko dalam proses eksplorasi. Jika dalam proses eksplorasi itu tidak ditemukan minyak, maka perusahaan tersebut tidak akan mendapatkan kompensasi. Kedua, semua cadangan migas yang ada di wilayah kerja perusahaan minyak adalah milik negara, begitu juga dengan instalasinya.

Sementara pelaksanaan dari KPS adalah sebagai berikut: setelah produksi minyak terjadi, maka akan ada royalti bagi negara atas produksi kotor minyak pada tahun yang bersangkutan. Setelah dikurangi royalti, perusahaan minyak atau kontraktor mendapatkan bagian minyak untuk mengganti biaya operasi yang dikeluarkan yang dikenal sebagai Cost oil. Sisa minyak yang ada, yang disebut Profit Oil, dibagi antara negara dengan perusahaan minyak dengan persentase yang telah ditentukan dalam perjanjian. Kemudian, perusahaan minyak dikenakan pajak penghasilan atas bagian minyak dari profit oil-nya.




2 komentar:

  1. Wah bagus sekali tulisannya pak, saya juga sedang ada tugas paper tentang KPS indonesia, apakah bapak punya contoh kontrak KPS? kalau boleh saya mau ngopy buat bahan paper, terima kasih sebelumnya..(cahyo)

    BalasHapus