08 Februari 2008

Komentar Atas UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana [1]

Berikut adalah tulisan komentar saya pada UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Saya posting dalam dua tulisan: pertama, mengenai materi-materi apa saja yang ada di dalam UU ini beserta sedikit koreksi [seharusnya ada tabel, tapi saya belum bisa buat tabel pake fasilitas blog ini, hehe] dan kedua, mengenai tawaran pelaksanaannya. Tulisan kedua ini didasari oleh adanya pameo di masyarakat yang menganggap isi peraturannnya sudah baik tinggal pelaksanaannya. Perlu juga dicatat bahwa, dari segi teori, ada urutan yang diandaikan saling menunjang dari saat rencana pembuatan peraturan, men-draft-nya sampai pelaksanaannya. Tapi kenyataannya hubungan itu tidaklah sesimetris yang dikira. Berikut sajiannya...

A. Materi Umum

Undang-undang ini diundangkan sebagai salah satu cara untuk mengatasi kelemahan koordinasi antar sektor serta menyediakan landasan hukum yang kuat dalam penanganan masalah bencana. Dengan diundangkannya UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana [UUPB] ini, pada tanggal 26 April 2007, diharapkan bisa terwujud penanganan bencana yang sistematis, terpadu dan terkoordinasi.

Sebagaimana diketahui bersama, posisi Indonesia secara geografis memang sangat rawan akan bencana. Indonesia berada di antara dua patahan yang masih aktif yang masih bertumbukan yang menyebabkannya rawan akan bencana gempa bumi, dimana gempa bumi ini memungkinkan terjadinya bencana tsunami. Tsunami di Aceh telah menjadi bukti yang tak terbantahkan. Begitu juga dengan bencana gunung meletus, longsor dll. Seiring dengan kemajuan dan kebutuhan manusia akan barang-barang mentah, berderet pula daftar bencana yang diakibatkan oleh faktor non-alam seperti kebakaran hutan, banjir, kebocoran limbah, kesalahan penerapan teknologi, dll. Sayangnya adalah perhatian terhadap posisi Indonesia yang rawan akan bencana itu belum begitu menjadi perhatian pembuat kebijakan negara. Ini bisa terlihat bahwa perhatian terhadap bencana baru akhir-akhir ini saja diperhatikan. Salah satunya dengan lahirnya UUPB ini.

UUPB terdiri dari 13 Bab dan 85 Pasal, dengan materi pokok yang dicantumkan antara lain adalah mengenai bahwa [a] penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah; [b] bahwa dalam tahap tanggap darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh badan nasional penanggulangan bencana dan badan penanggulangan bencana daerah; [c] pemenuhan atas hak masyarakat dalam proses penangulangan bencana; [d] kesempatan bagi lembaga usaha dan lembaga internasional dalam membantu kegiatan penanggulangan bencana; [e] penanggulangan bencana dilakukan pada saat pra bencana, saat bencana dan pasca bencana; [f] dana disediakan dari APBN dan APBD dan disediakan juga dana siap pakai yang mekanisme pertanggungjawabannya dilakukan secara khusus; [g] pengawasan dilakukan oleh pemerintah, pemda dan masyarakat; [h] dan terakhir dicantumkannya ketentuan tentang pidana.

UUPB secara komprehensif mengidentifikasi bencana sebagai peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh 3 faktor: [1] Faktor alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami,dll; [2] faktor non alam, seperti gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah; [3] faktor manusia, yang kemudian disebut sebagai bencana sosial, yang meliputi konflik sosial atau kerusuhan sosial.

Sehingga dengan demikian, menurut UUPB, ada kegiatan privat, seperti eksploitasi minyak, yang karena kelalaian atau kesengajaan menyebabkan terjadinya peristiwa yang memenuhi kriteria dan indikator bencana. Dalam UUPB juga disebutkan bahwa yang bertanggung jawab dan berwenang dalam penanggulangan bencana adalah pemerintah dan pemerintah daerah, yang keduanya sekaligus menyediakan dana dalam bentuk APBN dan APBD. Bahkan pemerintah pusat diharuskan menyediakan dana siap pakai yang dianggarkan pada pos di Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Kriteria tentang status bencana dan tingkatannya ditetapkan oleh pemerintah pusat yang didasarkan pada jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas yang terkena bencana dan dampak sosial-ekonomi yang timbul. Kriteria inilah yang akan menentukan apakah sebuah peristiwa disebut bencana atau bukan. Konsekuensinya adalah siapa yang harus bertanggung jawab dan membayar ganti ruginya. Dengan demikian bisa dihindarkan kemelut dalam penentuan siapa yang bertanggung jawab dalam menyemburnya lumpur di Sidoarjo yang diakibatkan oleh aktivitas pemboran PT Lapindo Brantas yang ternyata telah membuat banyak penduduk harus mengungsi.

Selain itu pencantuman pasal-pasal pidana dimaksudkan untuk menjamin ditaatinya UUPB serta memberikan efek jera. Pemberian pidana diberikan pada 3 pihak, pertama pihak yang melaksanakan proses pembangunan beresiko tinggi yang tidak dilengkapi dengan analisis resiko bencana yang karena kelalaian atau kesengajaannya menimbulkan bencana yang menimbulkan kerugian baik kematian atau kerugian material. Kedua adalah pihak yang menghambat kemudahan akses dalam kegiatan penanggulangan bencana serta ketiga, pihak yang menyalahgunakan pengelolaan sumber daya bantuan bencana, termasuk keuangannya.


A. 1. Instrumen Kelembagaan


Dalam UUPB kelembagaan dalam penanggulangan bencana dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] yang dibentuk oleh pemerintah pusat dengan peraturan presiden. Sementara di daerah didirikan juga badan penanggulangan bencana daerah [BPBD] yang didirikan dengan peraturan daerah. Badan penanggulangan bencana daerah ini terbagi dalam dua yakni di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam UUPB diatur mengenai hal pembentukan kedua badan di atas, termasuk kewenangan, fungsi, tugas, dan tata cara pemilihan unsur pengarahnya.

Perlu juga dicatat bahwa walaupun BPBD dibentuk oleh pemerintah daerah, namun dalam pembentukannya harus menunggu dulu dibentuk BNPB dan pedoman pembentukan BPBD yang disusun oleh BNPB.

Pada saat tanggap darurat sepenuhnya dilakukan oleh dua badan ini, sehingga diatur dalam UUPB mengenai kemudahan akses pada berbagai sumber daya yang tersebar di berbagai sektor. Kemudahan akses itu meliputi juga dalam hal pengerahan logistik, imigrasi, cukai dan karantina, pengadaaan barang dan jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dan bahkan komando untuk memerintah sektor/lembaga. Ini merupakan perwujudan dari keinginan membuat kegiatan penanggulangan bencana yang sistematis, terpadu dan terkoordinasi.

A.2. Tahapan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Dalam UUPB, tahapan itu terdiri dari 3 tahap: prabencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana. Pada saat prabencana dibagi lagi dalam dua: pada saat tidak terjadi bencana dan pada saat terdapat potensi terjadinya bencana.

Kegiatan yang terdapat dalam kategori pada saat tidak terjadi bencana, antara lain adalah perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan resiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaa pembangunan, persyaratan analisis resiko bencana, dsb. Kewenangan dan tanggung jawab dalam kegiatan ini ada yang terkoordinir di satu badan ada juga yang tidak. Yang termasuk dalam koordinasi BNPB/BPBD adalah perencanaan penanggulangan bencana. BNPB juga berwenang menyusun dan menetapkan persyaratan analisis resiko bencana. Sementara kegiatan lain kewenangan dan tanggung jawabnya menyebar baik di dalam tubuh pemerintah sendiri, maupun keluar di luar pemerintah.

Yang masuk dalam kategori kewenangan yang tersebar di dalam pemerintah adalah antara lain pendidikan dan pelatihan, persyaratan standar teknis penanggulangan bencana dan pemaduan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan baik pusat maupun daerah. Kegiatan ini akan melibatkan setidaknya Departemen Pendidikan Nasional dan Bappenas/Bappeda dan bahkan Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Sosial. Sedangkan kegiatan pengurangan resiko bisa dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah.

Kegiatan pada saat terdapat potensi terjadinya bencana adalah kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana. Di dalam kegiatan ini, BNPB/BPBD adalah pengkoordinir dan pelaksana kegiatan.

Pada saat tanggap darurat, kewenangan itu mengerucut hanya ada di tangan BNPB atau BPBD, tergantung skala bencananya. Badan ini melakukan koordinasi, komando dan pelaksana sekaligus dalam kegiatan tanggap darurat bencana. Ini merupakan jawaban atas tiadanya protokol dalam penanggulangan bencaa di Indonesia. Bahkan pada saat tanggap darurat, BNPB/BPBD bisa memerintah dinas lain dan juga institusi militer atau dinas ata badan lain yang mempunyai sumberdaya untuk menanggulangi bencana.

Sementara pada saat pasca bencana, badan ini kembali melakukan koordinasi atau pelaksana dari kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.

A. 3. Analisis Resiko Bencana

Salah satu hal yang menarik dari UUPB adalah mengatur mengenai Analisis Resiko Bencana [ARB]. ARB adalah kegiatan penelitian dan studi tentang kegiatan yang memungkinkan terjadinya bencana. ARB ini dilengkapkan ke dalam setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai resiko tinggi menimbulkan bencana. Yang dimaksud kegiatan pembangunan yang mempunyai resiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang dan pembabatan hutan.

Mau tidak mau saya harus memalingkan muka pada UU No. 23 Tahun 1997 tentang PHL di mana diatur tentang AMDAL yang wajib disertakan sebelum kegiatan pembangunan/rencana usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup. Kriteria tentang rencana usaha/kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting adalah besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan, luas wilayah penyebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung, banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak. Dari peraturan ini sangat jelas bahwa AMDAL bersifat wajib dan dilakukan sebelum usaha/kegiatan itu dilakukan. Sedangkan badan yang bertanggung jawab atas AMDAL ini adalah KLH.

Dalam UU No 24 Tahun 2007 disebutkan bahwa persyaratan ARB disusun dan ditetapkan oleh BNPB. Ini merupakan salah satu prioritas yang harus dilakukan BNPB segera setelah terbentuk. Walaupun tidak jelas apakah bersifat wajib atau komplementer dari dokumen perijinan lainnya atau statusnya hanya administratif, bisa dipastikan bahwa ARB ini dilakukan sebelum kegiatan pembangunan dilakukan. Hal ini terlihat bahwa kegiatan ini bersifat penelitian dan analisis terhadap kegiatan yang memungkinkan terjadinya bencana.

Berbeda dengan AMDAL, bahwa yang memberikan pengesahan atas pemenuhan persyaratan ARB yang disusun oleh BNPB adalah badan pemerintah lain sesuai dengan kewenangan dan peraturan yang berlaku. BNPB hanya berwenang membuat persyaratannya dan melakukan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan ARB tersebut. Jadi dia tidak memberikan persetujuan atas lahirnya suatu ARB di sebuah rencana pembangunan. Dinas sektorallah yang punya kewenangan untuk itu. Begitupun dalam hal penegakan hukumnya, UUPB tidak secara jelas memberikan kewenangan kepada BNPB untuk melakukannya. BNPB karenanya hanya berwenang memberikan laporan kepada dinas sektoral terkait jika dia melihat ada penyelewengan atas syarat-syarat dalam ARB.

Bagaimana mungkin persyaratan ARB itu bisa dipatuhi oleh dinas sektoral di lembaga pemerintah? Ini mungkin pertanyaan yang sangat pelik di tengah besarnya ego masing-masing dinas sektoral di Indonesia. UUPB membuka jalan itu lewat aturan mengenai pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan yakni dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan daerah. Dengan demikian, segera setelah adanya BNPB, maka dalam setiap rencana pembangunan dan atau kegiatan usaha, baik dilakukan oleh pemerintah atau privat, diharuskan dimasukkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana. Persyaratan itu harus dimasukkan untuk melengkapi bahkan menyempurnakan persyaratan lain yang lebih dulu ada di masing-masing dinas sektoral.

2 komentar:

  1. Mohon info siapa penulis artikel ini dan apakah sudah dipublikasikan di tempat lain?

    BalasHapus
  2. Mbak Amelia,

    Saya sendiri yang menulis soal ini. Tulisan ini belum dipublikasikan. Silakan hubungi email saya: mumu.muhajir@gmail.com atau mumu.muhajir@epistema.or.id

    BalasHapus