10 Januari 2008

Sektor swasta dan kebijakan negara dalam pengelolaan sumber daya alam

Oleh: Mumu Muhajir

Perdebatan yang terjadi di Kalimantan Timur dalam hal persetujuan Departemen Kehutanan pada proyek sejuta hektar HTI, meninggalkan kesan bahwa semua masalah bermula dan berakhir di negara c.q. Dephut/Dishut. Mungkin ini hal yang lazim terjadi di Indonesia ini. Harapan yang terlalu tinggi akan peran negara telah membuat banyak pihak terlalu gampang menghukumnya atau malah menggantungkan harapan padanya. Kasus ini bisa diperpanjang sampai pada kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat oleh PT NMR atau Kasus Lapindo di Sidoarjo.

Tulisan di bawah tidak akan menceritakan perdebatan di atas secara rinci dan khusus, sebaliknya masalah itu hanya akan dijadikan sebagai titik tolak. Tulisan ini justru akan mencoba mempertanyakan cara pandang para pihak terutama dalam hal penunjukan aktor [aktor] tertentu yang dianggap lebih bertanggung jawab dalam masalah ini dan juga masalah pengelolaan sumber daya alam lainnya.

Tentu saja mempertanyakan kebijakan pemerintah dan sekaligus juga berharap ada koreksi pada kebijakan yang dibuatnya itu merupakan hal yang sah dan memang sewajarnya dilakukan. Sebagai pihak yang dibebani kewajiban oleh konstitusi untuk membuat peraturan dan pengawasan dalam hal pengelolaan kekayaan sumber daya alam, pemerintah merupakan target yang terlihat. Tetapi jika hanya itu yang dilakukan, kita akan selalu menganggap pemerintah sebagai badan yang mandiri dan “tertutup” sehingga ketika kebijakan atau peraturan yang dikeluarkannya bisa nir-kepentingan-selain-dirinya. Kita selalu menganggap pemerintah selalu bisa mengatasi kepentingan-kepentingan apapun di luar dirinya. Bahwa kemudian dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam itu merupakan buatan dan langsung dari hanya pemerintah.

Konsekuensinya adalah, jika kebijakan itu keliru, negara c.q. pemerintah di dalam dirinya sendiri dianggap sebagai tersangka tunggal, kalau tidak mau dianggap sebagai sumber kesalahan/kejahatan dari tindakan apapun.

Ini merupakan pandangan yang tersisa dari teori-teori politik lapuk yang melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang memusat dan berdiri sendiri, yang karenanya dalam suatu permainan kekuasaan, para pemain diandaikan utuh-padu-dalam-dirinya-sendiri dan seperti punya satu pintu keluar; atau masih terpacaknya kepercayaan akan determinisme satu hal atas hal lainnya.

Padahal dalam perkembangannya, terutama seperti yang ditunjukkan oleh para post-strukturalis [seperti Michael Foucault] atau cultural studies [seperti Stuart Hall], kekuasaan tidaklah memusat dan berada di satu pihak, kekuasaan itu berada dalam ketegangan hubungan/jaringan, yang karenanya menyebar, tercerai berai. Sehingga ketika hal itu diterapkan dalam gerak langkah negara c.q. pemerintah, terlihat bahwa pemerintah tidaklah mandiri dalam mengeluarkan suatu kebijakan atau rantaian peraturan. Dia bukan hanya dipengaruhi oleh ketegangan dan campur baur tangan-tangan kekuasaan di dalam struktur internalnya sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh pihak-pihak luar, contohnya sektor swasta [pemilik modal].

Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, kolaborasi antara negara-sektor swasta telah sering dibuka dan dipertanyakan. Contoh yang bisa dikemukakan tentang kolaborasi meraka dalam sektor kehutanan ini adalah penuturan Peter Dauvergne [1997], yang menyorot masalah hubungan antara perusahaan kayu di Jepang dengan kebijakan kehutanan negara-negara Asia Tenggara. Tampak kemudian bahwa kebijakan yang lahir terkait pengelolaan sumber daya alam merupakan hasil bentukan dan dibentuk kembali dalam hubungannya dengan kolaborator dan artikulator yang sukses mendekati negara [Tsing, 1999]. Dengan catatan bahwa kolaborator atau artikulator sukses ini bukan hanya pengusaha – pemilik modal, tetapi juga bisa jadi malah para aktivis.

Dengan demikian, dalam hal pemindaian terhadap masalah, contohnya, proyek sejuta hektar HTI ini, mata kita harus dilebarkan bukan hanya pada peran pemerintah c.q. Dephut, [atau pean DESDM ketika menyangkut masalah mineral dan energi] , tetapi juga harus mulai melihat struktur hegemonik lainnya: hubungan antara negara dengan pebisnis serta kinerja para pebisnis itu. Hal ini dilakukan agar kita bisa melihat persoalan ini dengan lebih jernih, karena dalam banyak kejadian negara c.q. pemerintah kadang di [mem-]perlakukan [dirinya] sebagai kuda troya atau bahkan wayang bagi kepentingan lebih komplek dan kuat di belakangnya.

Masih merujuk pada pendapat Anna Tsing, kesadaran ini agak terlambat disadari oleh kalangan aktivis di manapun di dunia ini, termasuk di Indonesia. Barangkali bagi para aktivis ini, pemerintah adalah satu-satunya pihak yang menjadi sumber masalah sekaligus juga sumber penyelesaian. Karenanya jika pemerintahnya baik, baik juga kondisi pengelolaan sumber daya alam negaranya, begitu sebaliknya. Para aktivis ini juga sangat tidak berkeberatan jika harus bermuka-muka, atau berkonfrontasi dengan negara, namun agak gagap ketika harus berhadapan dengan para kolaborator dari pihak pebisnis/pemilik modal. Memang para aktivis menyinggung hal itu, tetapi nampaknya dilakukan dengan candraan yang terbatas, sempit dan kabur. Sehingga yang nampak di mata hanyalah negara, sang kanvas kertas.

Semoga saya tidak sedang mengamini pendapat para ahli politik yang melihat pemerintah kita sebagai contoh negara gagal. Tetapi sebagai bagian dari strategi, mendekati negara, memperkuatnya, agar bisa berdiri sama kuat dengan sektor swasta [bisnis/pemilik modal] dalam perlombaan memperebutkan kuasa atas kekayaan sumber daya alamnya, dengan harapan, karena negara adalah badan publik, dia akan selalu berpihak pada kita, rakyat biasa, sudah saatnya ditinjau ulang.

Bukan berarti bahwa strategi itu gagal membuat pemerintah makin kuat, tetapi, dengan semua silang sengkarut dalam pengelolaan sumber daya alam ini serta banyaknya contoh yang menunjukkan makin akutnya krisis legitimasi negara, barangkali pihak-pihak lain di luar negara itu malah bertambah lebih kuat dari negara c.q. pemerintah. Lihatlah kasus divestasi KPC atau Kasus NMR atau perhatikanlah posisi gagap, kikuk, wagu pemerintah ketika harus berhadapan dengan Freeport, ExxonMobile, perusahaan perkebunan besar, perusahaan kayu dan bubur kayu besar, dll.

Disadari juga bahwa sangat sedikit aktivis yang mempunyai ide-ide pemikiran tentang bagaimana cara mempengaruhi kebijakan di sektor swasta/pemilik modal ini. Sehingga menyulitkan mereka dalam membaca gerak sektor bisnis berkolaborasi dengan negara atau pihak lainnya. Inilah yang menjadi sebab mengapa sudah begitu banyak peraturan yang dibuat negara dalam masalah pengelolaan sumber daya alam yang tidak berjalan dengan baik, bukan hanya karena kurang berfungsinya penegakan dan pengawasan, tetapi juga karena pihak yang terkena aturan itu mempunyai sistem kekuasaan sendiri yang kadang jauh lebih kuat dan punya daya tawar yang lebih tinggi dari si pembuat kebijakan/peraturan. Di saat para aktivis sibuk bertinju ria dengan pemerintah, para ”penumpang gelap” [free-riders] itu malah menikmati privilegenya.

Dengan memperluas cara pandang seperti itu, tidak lagi hanya menimpakan titik candra pada satu pihak/masalah/[internal]struktur, namun juga memperhatikan struktur saling ketergantungan antara sektor pemerintah dengan sektor swasta [jaringan kuasa], maka mungkin kita akan bisa melihat solusi-solusi yang lebih komprehensif dan jangka panjang dalam masalah pengelolaan sumber daya alam ini. Setidaknya posisi pihak yang dulunya tak terlihat perannya semakin kentara dan bisa dibaca kepentingannya dan didekati untuk dipengaruhi. Sementara bagi pihak yang selalu menyalahkan negara dan akan tetapi selalu berharap negaralah yang bisa menyelesaikan suatu masalah, bisa menyadari keterbatasan negara c.q. pemerintah dalam hiruk pikuk perebutan kekuasaan pengelolaan sumber daya alam ini.

Barangkali inilah saatnya untuk melihat bahwa negara c.q. pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal bagi baik-buruknya pengelolaan sumber daya alam di negara ini. Barangkali pula akan terlihat bahwa tantangan dan hambatan terbesar ke arah tata kelola sumber daya alam yang baik dan adil, bukanlah pada ketidakmampuan negara c.q. pemerintah menjalankan fungsinya, namun ada ”raksasa egois besar” yang tetap berkuasa karena tidak pernah diusik-ditegur-diajak ngomong-ditanyakan tanggung jawabnya: sektor swasta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar