01 Januari 2008

Divestasi Saham KPC: Mengapa Harus?

Oleh: Mumu Muhajir

Proses divestasi saham KPC kembali hangat dibicarakan setelah adanya usaha dari pemerintah provinsi Kalimantan timur [pemprov kaltim] untuk membawa masalah ini ke tingkat arbitrase internasional, yakni ICSID di Roma, Italia. Divestasi KPC sendiri seharusnya sudah harus dilaksanakan sejak tahun 1996 sebagaimana ditentukan dalam PKP2B KPC di mana proses divestasi saham KPC ke pemerintah atau pemda atau BUMN/BUMD atau pengusaha swasta, dilaksanakan secara bertahap yang dimulai pada tahun ke 10 sejak dimulainya tahap eksploitasi. Namun, kita semua tahu sendiri, proses divestasi itu tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Ada banyak faktor, salah satunya, yang terjadi dalam proses divestasi KPC adalah adanya indikasi niat tidak baik dari pihak KPC dalam menjalankan kewajiban yang sebenarnya telah ditentukan dalam kontrak [PKP2B] mereka.

Tulisan ini tidak akan menjawab kenapa salah satu faktor di atas muncul. Sebaliknya tulisan ini akan mencoba memaparkan mengapa divestasi KPC dan juga perusahaan tambang lainnya yang ada di wilayah hukum Indonesia harus dilakukan. Tulisan ini juga hendak mencari pegangan hukum dan kebijakan yang memungkinkan proses itu dilaksanakan.

Negara adalah penguasa cadangan kekayaan alam

Berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 disebutkan bahwa kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi Indonesia, termasuk daerah-daerah lepas pantai, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat indonesia. Negara sendiri mempunyai hak untuk mengatur, memanfaatkan dan mengawasi kekayaan alam itu, termasuk untuk menambang bahan-bahan mineral. Dalam pelaksanaannya negara bisa mewakilkan kewenangannya itu ke perusahaan negara. Tetapi negara juga bisa mengajak pihak lain, selain perusahaan negara, dalam proses pengusahaan pertambangan itu, dengan alasan bahwa negara tidak mempunyai cukup keahlian atau finansial untuk melaksanakan sendiri pertambangannya.

Dengan demikian, khususnya masalah keterlibatan pihak lain di atas, dalam pengusahaan pertambangan di indonesia dikenal ada beberapa pola kerjasama: negara c.q. pemerintah secara langsung melakukan kerjasama dengan pihak lain [kontraktor] atau negara diwakili oleh perusahaan negara yang melakukan perjanjian kerjasama itu.

Walaupun demikian, perlu diingat, kontraktor itu bukanlah pemilik dari cadangan bahan tambang yang masih ada di perut bumi. Bahkan ketika melakukan eksploitasi, bahan tambang itu tetaplah dimiliki oleh negara. Perpindahan kepemilikan terjadi tergantung pada jenis bahan tambangnya: untuk migas, kepemilikan beralih pada saat point of delivery [pada saat lifting atau titik eksport], sedangkan bahan mineral, terjadi ketika perusahaan bahan mineral itu membayar royalti [sebesar 13,5%] dan iuran lainnya [iuran tetap dan iuran eksploitasi] kepada negara c.q. pemerintah. Hal ini sesuai dengan konsep pertanahan Indonesia, yang memisahkan kepemilikan atas permukaan tanah dan atas yang ada di perut bumi [yang dalam konsep hukum Indonesia, mutlak dikuasai oleh negara].

Divestasi sudah diatur dalam PKP2B

PKP2B atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara merupakan salah satu bentuk kontrak yang dibuat dalam rangka pengusahaan pertambangan di Indonesia. Ada juga bentuk lainnya seperti KPS dan KK. PKP2B pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1981. Ini merupakan bentuk perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pengusaha batubara dalam mengusahakan pertambangan batubara. Pada awalnya PKP2B mengambil bentuk yang sama dengan KPS di mana perusahaan batubara melakukan kontrak dengan perusahaan negara [yakni PT BA] yang mendapatkan kuasa pertambangan dari negara, namun pada tahun 1996, ada perubahan dengan mengganti posisi PT BA oleh pemerintah [pusat], yang berarti mengikuti pola Kontrak Karya.

Karena berbentuk kontrak, maka posisi pemerintah sebenarnya berada dalam posisi yang sama dengan kontraktor. Padahal di sisi lain, sejatinya negara c.q. pemerintah adalah juga regulator. Di sini pengetahuan yang jelas dimana posisi pemerintah, apakah sebagai regulator atau sebagai pihak dalam kontrak, perlu diketahui. Walaupun demikian, pemerintah tetap mempunyai kontrol dan membuat regulasi terkait dengan pengusahaan pertambangan itu.

Dalam kebijakan pertambangan itu sendiri, tidaklah diatur apa-apa saja yang harus diperjanjikan dan dinegosiasikan dengan pihak kontraktor. Pemerintah menyadari bahwa perkembangan bisnis demikian cepat sehingga pengaturan yang terlalu detil malah akan merugikan para pihak. Karena itu pemerintah hanya membuat semacam panduan tentang hal apa saja yang harus ada dalam perjanjian antara pemerintah dengan kontraktor itu.

Sampai tahun 1996, dalam hal batubara, pemerintah tidak mempunyai panduan itu, yang berarti, pemerintah menyandarkan sepenuhnya pada hasil negosiasi dengan pihak kontraktor. Barulah pada tahun 1996, pemerintah mengeluarkan Keppres 75/1996 yang berisi panduan dan pokok-pokok perjanjian yang harus ada didalam PKP2B.

Selain mengatur mengenai masalah hak dan kewajiban kontraktor, Keppres itu juga mewajibkan kepada para pihak untuk mengutamakan kepentingan nasional yang dikejawantahkan dalam bentuk penggunaan bahan, alat dan tenaga kerja dari Indonesia. Termasuk juga didalamnya adalah kewajiban para kontraktor untuk melakukan divestasi atau menjual sahamnya kepada pihak nasional. Besaran divestasi serta tahapan divestasinya berbeda-beda antar kontraktor, tergantung kesepakatan dalam kontraknya. Namun yang umum adalah sebesar 51%. Pihak nasional yang dimaksud adalah pemerintah, BUMN/BUMD atau pengusaha nasional.

Peraturan lain yang terkait adalah PP No 20 Tahun 1994 tentang pemilikian saham dalam perusahaan yang didirikan dalm rangka penanaman modal asing. Pasal 7 PP ini menentukan bahwa paling lambat 15 tahun sejak perusahaan asing itu beroperasi di Indonesia, dia harus mengalihkan/menjual sebagian sahamnya kepada pihak nasional Indonesia. Walaupun dikatakan sebagian, tetapi penjelasan Pasal itu menyebutkan bahwa besaran saham yang harus dijual itu disesuaikan dengan: [1] kesepakatan para pihak yang saling menguntungkan; [2] kelangsungan kegiatan perusahaan; dan/atau [3] ketentuan pasar modal. Dimana kesepakatan itu diatur? Tentu saja dalam PKP2B [jika batu bara].

Terlihat bahwa dengan kebijakan seperti itu, pemerintah Indonesia bermaksud tidak melakukan nasionalisasi tetapi juga sekaligus hendak mengurangi peran-peran asing dalam pengusahaan pertambangan di Indonesia. Indonesia nampaknya tidak berani untuk melakukan nasionalisasi perusahaan asing; namun juga tidak ingin perusahaan asing berkuasa di negeri ini.

Hanya saja dalam proses divestasi KPC kembali memunculkan pertanyaan tentang konsistensi pemerintahan ini dalam menjaga kekayaan alam yang dimilikinya. Pemerintah [pusat] dengan sangat jelas menolak untuk membeli saham divestasi KPC dengan alasan tidak mempunyai uang untuk membeli itu dan kemudian menyerahkan kepada pihak Pemda untuk melaksanakan hak itu yang sampai sekarang masih terkatung-katung.

Alasan tidak mempunyai uang bisa saja dimaklumi. Namun jika pemerintah ini membaca kembali segala peraturan dan kebijakan yang dibuatnya dalam hal pengelolaan kekayaan sumber daya energi dan mineralnya, bisa terlihat bahwa tujuan akhir dari kebijakan itu adalah kemandirian bangsa yang ujungnya adalah kesejahteraan rakyatnya. Salah satunya adalah dengan menguasai aset perusahaan-perusahaan yang vital bagi negara ini, termasuk KPC.

Mengapa, contohnya, pemerintah tidak mencontoh keberhasilan Arab Saudi dalam menguasai 100% kepemilikan perusahaan-perusahan minyak asingnya dengan cara menukarkan royalti yang didapatnya ke dalam bentuk saham di perusahaan tersebut. Sehingga dalam jangka waktu yang relatif pendek, perusahaan asing itu menjadi milik Kerajaan Arab Saudi. Mengapa pemerintah tidak mencoba menyisihkan beberapa persen saja dari 13,5 persen royalti yang diterimanya itu untuk dipergunakan sebagai modal untuk membeli divestasi saham itu. Kalau pun duit itu tidak cukup, setidaknya menunjukan bahwa niat itu ada.

Nampaknya pemerintah melihat bahwa divestasi saham-saham perusahaan tambang seperti KPC, begitu juga PT NNT dan PTFI, bukan sebagai prioritas yang harus dilakukan segera, di tengah makin dominannya modal asing dalam membangun negeri ini.

Terkatung-katungnya proses divestasi itu juga membuka selubung misteri yang selama ini sudah banyak diduga orang: posisi pemerintah yang terlihat keder jika berhadapan dengan pengusaha [tambang] besar asing. Pemerintah pusat dibuat tidak berdaya justru ketika harus mendapatkan apa yang menjadi haknya. Unsur niat tidak baik dari KPC yang dijadikan dasar dalam mengajukan gugatan arbitrase bisa terlihat dari upaya KPC untuk menaikkan harga sahamnya dengan cara mengikutsertakan cadangan batubara yang masih belum dieksploitasi ke dalam perhitungan assetnya. Sebagaimana telah diterangkan di atas, seharusnya pemerintah dilibatkan dalam penentuan besarnya harga sahamnya karena sebenarnya cadangan batubara itu adalah milik negara. Bagaimana mungkin, dalam penghitungan asetnya, KPC mengikutsertakan aset yang bukan miliknya dan pada saat yang sama pemilik sejati aset itu nampaknya tidak peduli. Hal yang sama bisa kita saksikan dalam proses penentuan besaran aset PT FI dan PT NNT.

Seharusnya posisi pemerintah kuat dan bisa memaksa para kontraktornya untuk taat pada kontrak yang telah disepakatinya itu, di mana pihak kontraktor selalu teriak-teriak untuk selalu menghormati kontrak pada saat ada kebijakan atau pihak-pihak yang akan mengganggu aktivitas kerjanya. Atau sebenarnya ada misteri lain yang belum terungkap yang menjadi jawaban dari teka-teki kenapa pemerintah demikia lunak pada perusahaan-perusahaan tambang [dan energi] yang ada di Indonesia.


1 komentar:

  1. biasa lah mental2 para pejabat korup ya kya gini ini...setali tiga uang....ngga' ada rasa kasian & dan empatinya ma rakyat sangatta yg telah lama menderita kekayaan alamx di keruk habis habisa oleh orang luar mereka hanya dapat debunya

    BalasHapus