11 Januari 2008

Polantas, Sopir Kopaja dan Penegakan Hukum Lingkungan

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari Kolaborasi Polantas dan Sopir Kopaja bagi Hukum Lingkungan?

Oleh: Mumu Muhajir

Sebagai pengguna kendaraan umum, saya lama kelamaan sering memperhatikan interaksi antara sopir/kondektur kendaraan umum dengan Polantas. Ada satu kejadian yang selalu berulang di tempat yang sama yang menarik perhatian saya. kejadiannya selalu terjadi di persimpangan di atas terowongan ke arah Ciputat. Rambu lalu lintas sudah secara terang melarang kendaraan untuk parkir [ngetem] di persimpangan itu. Tetapi ada satu trayek Kopaja yang sering nangkring di sana nunggu penumpang [sewa] termasuk saya. Nah yang diwaspadai oleh sopir atau kernet Kopaja itu bukan hanya saingan kopaja di trayek yang sama atau perintah timer, tetapi yang lebih mereka kawatirkan adalah Polantas. Karena bisa saja walaupun mereka sudah ekstra waspada, Pak Polantas tiba-tiba sudah berada di depan mobilnya. Biasanya lolos. Tapi ada juga apesnya.Yang menarik adalah, setelah yakin pengemudi tidak akan kabur, Polantas itu mendatangi sopir dan meminta STNK atau SIM, kemudian pergi begitu saja. Dan sang Sopir atau Kernet hanya akan ngomel-ngomel dan setelahnya tetap diam di sana, sampai mobil lain datang.

Saya selalu tersenyum kecut melihat kenyataan itu. Polantas hanya mengambil STNK dan SIM tanpa memerintahkan si sopir untuk menjalankan mobilnya ke luar dari area yang dilarang itu. Si Sopir sendiri nampaknya yakin bahwa kesalahannya telah dibayar dengan dikenakannya tilang kepadanya dan Polantas tidak akan serta merta "menghukum" atas "kesalahan" baru: tetap ngetem di persimpangan itu. Kejadian ini selalu berulang dan berakhir sama.

Saya merasa kejadian di atas dekat dengan realitas penegakan hukum di bidang lainnya di Indonesia dan terutama dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Yang melakukan kesalahan/pelanggaran merasa sudah terbebas dari kesalahannya dengan membayar "denda" atau "dikenai sanksi administratif lainnya" tanpa harus ada kesadaran tidak akan mengulang kembali. Si penegak hukum merasa cukup dengan menarik denda dari yang bersalah dan tidak berusaha untuk menarik lebih jauh, misalnya memerintahkan si pelanggar untuk "mengembalikan ke tahap semula sesuatu keadaan yang telah dilanggarnya" atau mencegah kesalahan itu terulang kembali.

Pak Polantas dan sopir kendaran umum tadi tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang menginjak-injak prinsip denda dalam sistem pemidanaan. Bagi mereka denda berarti ”membayar” kesalahan yang dilakukan dan bukan usaha untuk ”menyingkirkan” kesalahan, syukur-syukur guna mencegah kesalahan yang sama diulang kembali.

Tapi begitulah. Saya melihat kesamaan dengan masalah yang hadir di ranah hukum lingkungan utamanya dalam prinsip Polluter Pays Principle. Hasilnya adalah pelanggar merasa bahwa setelah dia membayar, dia tetap bisa meneruskan kegiatan polutifnya. Sehingga ”pembayaran” dia bukanlah dianggap sebagai kegiatan ”korektif” tetapi sebaliknya, dianggap sebagai ”pembuka pintu penerimaan” atas tindakan polutifnya itu.

Dalam ranah yang lebih luas, ini juga terjadi dalam penggunaan pemidanan administratif yang dalam sistem hukum lingkungan di Indonesia ditempatkan di awal dan diutamakan [terkenal dengan prinsip subsidiaritas]. Tampak jelas dalam kasus Lapindo atau kasus NMR, bahwa pelaku, setelah mengikuti aturan administratif, maka dia seperti terlepas dari beban kesalahan. Lapindo sampai sekarang tidak ada keputusan judicial yang secara jelas dan tegas menyebutkannya sebagai pihak yang bersalah atau setidaknya sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Putusan pengadilan terakhir malah menyebutkan bahwa lumpur yang keluar dari bekas sumur bornya Lapindo itu adalah fenomena alam. Yang tampak adalah Lapindo seperti terlepas dari jerat hukum ketika dia melakukan usaha untuk menutup sumber masalah dan ekses langsung akibat semburan lumpur itu. Usaha-usaha itu dianggap sebagai ”alasan pemaaf” bagi Lapindo dan menghindarkan dia dari ”hukuman” yang lebih besar.

Kasus NMR malah lebih nyata lagi. Ketika kasus pencemaran TelukBuyat muncul, PT NMR berkilah bahwa apa yang sudah dilakukannya sudah sesuai dengan "perintah" peraturan perundang-undangan baik di bidang mineral maupun lingkungan hidup. Sehingga ekses itu merupakan hal "di luar" akibat tindakan PT NMR sendiri. Dengan pernyataan itu juga, PT NMR mengalihkan tanggung jawab penyelesaian pencemaran ke pangkuan pemerintah, sebagai pembuat peraturan. Singkatnya, PT NMR telah mengikuti semua aturan yang dibuat oleh pemerintah dan karenanya ekses yang lahir di luar kepatuhan dia atas peraturan dari pemerintah itu bukanlah kesalahannya.

Dalam sudut yang lebih luas, jika aturannya belum ada yang mengatur suatu pencemaran, maka pelaku bisa terlepas dari kesalahan. Saya tahu ada prinsip kehati-hatian, yang dikenal dalam sistem hukum lingkungan. Tapi sampai sekarang saya belum mengetahui "jembatan prinsip" itu dengan sistem hukum yang ada. Kalau tetap hanya jadi Soft-law, maka efektifitasnya di rimba hukum Indonesia akan sangat kecil.

Sebagaimana Polantas dan Sopir Kopaja itu, kerusakan lingkungan terus akan terulang sepanjang infrastruktur hukum yang ditunjang oleh budaya hukum yang melingkupinya memungkinkan "kesalahan" bisa dikuantifikasikan dengan hanya "pembayaran tilang". Atau sebagaimana contoh kecil di atas, ada kesengajaan "kesalahan/pelanggaran" itu dibiarkan karena dua-duanya mendapatkan keuntungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar