23 Desember 2007

Penerapan Prinsip Product Liability (Tanggung Jawab Produk) dalam Produk Kosmetika sebagai Salah Satu Instrumen Perlindungan Kepentingan Konsumen menu

Ini merupakan ringkasan penelitian yang kebetulan di-team leader-i oleh saya. Penelitian ini sendiri dilakukan waktu masih kuliah dan dibiayai oleh Program Pengembangan Mahasiswa, Dikti, Diknas. Kekurangan penelitian ini, yang karenanya tidak masuk pada babak final, adalah sampel penelitiannya hanya dua perusahaan. Seharusnya, kata Pak Juri, paling kurang tiga perusahaan. Lucunya, setelah pengujian itu, sorenya kami dapat telpon dari satu perusahaan yang telah coba kami surati yang intinya bersedia diteliti. Gondok sih, tapi lumayanlah, setidaknya kami berhasil membuka jalan bagi adik-adik kami setelahnya untuk penelitian lain selain penelitian buat skripsi di Fakultas kami tercinta. Hehehe [lucu aja sih, masa formulir untuk minta ijin penelitian ke bagian sospol, provinsi DIY, Fakultas hanya menyediakan formulir bagi penelitian skripsi, dan tidak ada formulir lain selain buat skripsi; yang berarti...]


Posisi konsumen yang lemah di hadapan produsen/pelaku usaha memunculkan pemikiran perlunya suatu aturan yang berpihak kepada konsumen dan atau memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Siapa sebenarnya yang disebut konsumen?. Kata ‘konsumen’ yang menjadi pengertian umum berasal dari bahasa inggris “to consume” artinya memakan atau menggunakan suatu barang atau jasa. Sedangkan orang yang memakan atau menggunakannya disebut konsumen. Mengacu pada pengertian ini maka kita semua adalah konsumen. Itulah kenapa membicarakan konsumen adalah seperti membicarakan diri kita, masalah kita.
Pemikiran tentang perlunya perlindungan terhadap konsumen menjadi hal yang mutlak untuk diakomodir dalam peraturan perundang-undangan. Begitu pun dengan semakin menguatnya kesadaran konsumen di luar negeri yang memunculkan gerakan perlindungan konsumen yang perhatian utamanya adalah pada perjuangan hak-hak konsumen.

Peraturan dasar tentang hukum kontrak dan kerugian yang berlaku sekarang dan yang sekaligus menjadi acuan hukum perlindungan konsumen, pada mulanya diformulasikan pertama kali di Inggris pada akhir abad ke 18. Dalam peraturan itu diatur segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan perdagangan. Pada masa Lord Mansfield (tahun 1893), hukum tentang perdagangan semakin menemukan bentuknya dengan adanya UU penjualan (Sale of Good act). Akan tetapi UU itu hanya mengatur hubungan antara pedagang- antara mereka yang memiliki kuasa dan pengetahuan yang sama- di mana aktivitas mereka tidak melibatkan masyarakat awam sebagai pembeli.

Perkembangan perekonomian yang pesat, yang dikenal sebagai globalisasi, di mana ketika seseorang membeli suatu produk di Australia hari ini adalah produk yang sama (baik itu kontruksi desain maupun standar) yang bisa dibeli di Moskow, Chicago ataupun Jakarta. Barang-barang diproduksi secara massal dan didistribusikan di pasar global, melintasi batas negara.

Di pasar global, ketidaksetaraan kekuasaan dan pengetahuan antara penjual/pelaku usaha dan konsumen semakin lebar dibandingkan di pasar nasional. Posisi konsumen di pasar global karenanya semakin rentan. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Meskipun pada saat yang bersamaan konsumen mendapatkan keuntungan dan kemudahan, antara lain semakin terbuka kebebasan untuk memilih aneka jenis barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuannya.
Munculnya kesadaran konsumen untuk mengorganisir diri dimulai sekitar tahun 1930-an di Amerika Serikat. Pada mulanya mereka hanya mempermasalahkan kesesuaian harga dengan mutu barang dan keselamatan penggunaannya. Pemasaran yang bebas dan canggih di negara liberal ini menghasilkan suatu mekanisme pertahanan diri di kalangan konsumen. Muncul perasaan yang tidak percaya begitu saja terhadap informasi yang berasal dari para produsen. Pada masa lalu, sistem perdagangan yang masih sederhana, penjual dan pembeli bertatap langsung dan penjual dengan produsen adalah orang yang sama Tidak seperti sekarang di mana suatu barang diproduksi secara massal dan teknologi canggih menjadi media pemasaran. Dulu, jika ada barang yang rusak, pembeli bisa langsung mrnghubungi penjualnya dan menuntut ganti rugi. Sekarang, pedagang hannya berperan sebagai perantara saja, yaitu antara perusahaan dengan pembeli/pemakai terakhir.

Pertanyaan yang berkembang kemudian adalah bagaimana tanggung jawab perusahaan atas suatu barang yng dihasilkannya atau diproduksinya namun tidak dijual secara langsung kepada konsumen. Pertanyaan ini menghasilkan pemikiran yang dikenal sebagai Product Liability.

Rendahnya kesadaran konsumen akan hak-haknya disebabkan, antara lain, tingkat pengetahuan konsumen yang rendah, sumber-sumber informasi penyadaran yang masih jarang dan juga karena adanya suatu sistem perdagangan yang merugikan kepentingan konsumen. Konsumen seringkali dirugikan, dan atas kerugian itu tidak ada celah bagi konsumen untuk menggugat kepada produsen atau pelaku usaha.

Dalam posisi yang timpang itu, sekiranya dipandang perlu ada suatu badan atau organisasi yang bisa menyeimbangkannya. Badan itu harus kuat dan bisa dipatuhi oleh kedua belah pihak. Kami berharap negara bisa menjadi salah satu perwujudan dari badan itu; tentu saja dengan membuat peraturan perundangan yang lebih berpihak pada konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK) yang diundangkan pada tanggal 20 April 1999 dan mulai berlaku satu tahun sejak tanggal itu, merupakan salah satu usaha menuju sistem yang lebih adil bagi konsumen, terutama dari segi perlindungan hukumnya. Dalam UUPK inilah ketentuan tentang product liability diatur untuk semakin memperkuat perlindungan terhadap konsumen. Bagi pihak produsen sendiri, dengan adanya peraturan tersebut, memberikan keuntungan berupa bisa mendapatkan kepercayaan dari konsumen sehingga produknya memiliki daya saing tinggi ditengah serbuan masuknya produk-produk asing.

Dalam prinsip product liability berlaku sistem tanggung jawab mutlak; merupakan prinsip tanggung jawab di mana kesalahan tidak dianggap sebagai faktor yang mennetukan. Dalam tanggung jawab mutlak tidak harus ada hubungan antara subyek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Jika konsumen yang merasa dirugikan atas produk yang dihasilkan suatu produsen atau pelaku usaha, maka itu menjadi dasar untuk bisa menggugat produsen yang bersangkutan tanpa harus membuktikan kesalahan pelaku usaha atau produsennya. Pelaku usaha dan atau produsen bisa terlepas dari tanggung jawab itu jika dia bisa membuktikan bahwa kesalahan itu merupakan kesalahan konsumen atau setidaknya bukan kesalahannya; sebaliknya ia akan dikenai tanggung jawab jika tidak bisa mampu membuktikan tuntutan konsumen itu. UUPK mengatur hal ini dalam pasal 19 ayat 5, pasal 27 dan pasal 28.

Prinsip tanggung jawab ini penting untuk diterapkan karena :
1. Konsumen tidak dalam posisi yang menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; mengingat terbatasnya informasi dan kemampuan lainnya seperti modal.
2. Asumsinya produsen lebih dapat mengantisispasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya.
3. Asas ini dapat memaksa pelaku usaha untuk lebih berhati-hati.
Tanggung jawab produk sendiri diatur dalam pasal 7 sampai pasal 11 UUPK. Pasal 7 mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha, antara lain harus ada itikad baik, memberikan informasi yang benar mengenai produk yang dihasilkan, melayani konsumen dengan jujur dan tidak diskriminatif dan lain sebagainya. Pasal 8 sampai pasal 11 berisi larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam hal-hal yang menyangkut produk yang dihasilkan (pasal 8), ketika menawarkan produk (pasal 9), ketika menawarkan produk untuk diperdagangkan (pasal 10) dan ketika barang tersebut dijual secara obral maupun lelang (Pasal 11).

Dari ketentuan dasar tentang product liability yang diatur dalam UUPK tersebut, kami menganggap adalah suatu hal yang menarik jika melakukan penelitian tentang penerapan product liability ini di Indonesia. Kami memilih pelaku usaha yang bergerak di bidang kosmetika yang menghasilkan produk pemutih wajah untuk diteliti ketaatannya pada peraturan tentang product liability. Alasannya adalah kosmetika adalah produk yang sangat dekat dengan masyarakat; beberapa pihak menganggapnya sama pentingnya dengan makan atau minum. Ketaatan terhadap prinsip itu menentukan terlindungi tidaknya kepentingan konsumen, baik kepentingan konsumen yang berhubungan dengan hasrat, citra dan dampak dari produk yang dipergunakannya. Dari sini bisa kita lihat ketegangan yang terbentang antara keinginan pelaku usaha untuk menciptakan serta mengekalkan citra produknya (siapa target pasarnya, apa gaya hidupnya, bagaimana perilakunya dalam berkonsumsi) dengan peraturan-peraturan yang mengatur produk kosmetika. Citra ini perlu diciptakan dan atau dikendalikan karena bisa merubah sesuatu yang bukan kebutuhan menjadi kebutuhan (cantik adalah citra, sejak kapan ia menjadi kebutuhan? Mengapa ada keriteria orang cantik: putih, tinggi, langsing?), berbeda misalnya dengan industri makanan.

Sebagian besar pelaku usaha yang kami teliti sebagai sampel memberikan respon positif dengan adanya prinsip tersebut dan mengaku sudah menerapkannya pada produk yang dihasilkannya. Pengakuan tersebut kami cross-check dengan penemuan lapangan kami terhadap produk yang dihasilkan sampel kami itu. Penelitian di lapangan ini perlu kami lakukan untuk menjaga keseimbangan informasi. Kami membandingkan antara produk yang dihasilkan dengan peraturan yang mengaturnya. Hasilnya adalah masih adanya kesenjangan antara peraturan yang ada dengan pelaksanaannya serta dengan informasi yang mereka berikan. Bagaimana pun perlu dihargai keterbukaan informasi yang mereka berikan sebagai wujud itikad baik mereka dalam menghasilkan produk yang baik, sehat dan terpercaya.

Penelitian lapangan juga tidak hanya berhenti pada penelitian produk yang dihasilkan oleh sampel pelaku usaha kami, tetapi kami juga melakukan penelitian terhadap pemakai, konsumen. Konsumen yang kami teliti semuanya dari kalangan mahasiswa. Hasilnya adalah rendahnya kehati-hatian mereka akan produk yang (akan) digunakan. Contohnya adalah sangat sedikit konsumen yang membaca secara hati-hati informasi yang terkandung dalam kemasan produk kosmetika. Namun, bagi kami, justru dengan keadaan konsumen seperti itu, kewajiban pelaku usaha untuk secara sungguh-sungguh menerapkan peraturan-peraturan yang mengandung prinsip product liability, menemukan alasan kuat dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar