13 Juni 2009

Jarak Pagar Membutuhkan Lebih Banyak Air Daripada Tanaman-buat-Biofuel Lainnya

Akhir-akhir ini, Biofuel selalu mendapatkan "nama jelek" karena ternyata kenyataannya tidak seindah sebagaimana dijanjikan pada awalnya. Sebagaimana diketahui bersama, misi Biofuel sangatlah mulia dan ambisius: mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan karenanya dapat mengurangi emisi karbon, serta, misalnya di Indonesia dan negara tropis miskin lainnya, sebagai panacea pengurangan kemiskinan. Namun, misi pertamanya diperkirakan gagal, setelah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan x biofuel dibutuhkan energi [yg kebanyakan berasal dari bahan bakar karbon] lebih banyak dengan energi yang dihasilkan lebih kecil daripada energi fosil. Akhirnya, biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan biofuel jauh lebih banyak dibandingkan dengan energi fosil [faktor ini sebenarnya kurang fair dibandingkan mengingat industri karbon yang telah terbentuk lebih lama dan lebih sempurna daripada industri biofuel]. Selain itu, biofuel yang berasal dari kelapa sawit mendapatkan tekanan lain, terutama berasal dari kekawatiran memicu naiknya angka deforestasi di negara penghasil kelapa sawit, seperti di Indonesia dan Malaysia.

Misi kedua Biofuel belum juga teruji ketika permintaan Biofuel ternyata memberikan dampak buruk pada harga makanan. Permintaan yang tinggi dan tiba-tiba industri biofuel pada jagung, misalnya, telah membuat harga jagung naik sehingga berdampak pada harga makanan berbahan jagung dan juga daging, mengingat sebagain besar jagung yang dihasilkan dibuat sebagai makanan ternak.

Jawaban penganjur Biofuel adalah berpaling pada Jarak Pagar. Ia adalah tanaman yang menghasilkan lebih banyak minyak dibandingkan biofuel dari tanaman lain serta, karena konsumsi airnya yang rendah, dapat ditanami di daerah gersang. Dengan demikian, Jarak Pagar adalah jawaban terhadap kritikan biofuel: ia lebih "hijau" dibandingkan tanaman lain, tidak perlu pembukaan lahan baru [dari hutan], dapat menghijaukan lahan gersang, mengurangi emisi karbon, tidak berkompetisi dengan makanan dan energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan biofuel jauh lebih rendah daripada tanaman lain. Ia bahkan sempat disebut sebagai "Emas Hijau".

Anjuran itu tidak bertepuk sebelah tangan. Misalkan saja, sejak tahun 2007, BP dan D1 oil telah membuat proyek sebesar 80juta dollar selama lima tahun di India, Asia Tenggara dan Afrika dan telah menanam lebih dari 200ribu hektar jarak pagar.

Klaim bahwa jarak pagar tidak berkompetisi dengan tanaman pangan dalam hal konsumsi air dan lahan ternyata tidak sepenuhnya benar. Klaim itu dicoba diuji oleh sebuah hasil penelitian berjudul "The Water Footprint of Bioenergy" dari Universitas Twente, Belanda yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences. Dengan membandingkan jarak pagar dengan 12 tanaman lain yang dipakai untuk biofuel [yaitu sugar beet, kentang, sugar cane[gula], jagung, singkong, gandum, sorghum, padi, barley, rye, bunga matahari, kedelai] ternyata terlihat bahwa konsumsi air Jarak Pagar lebih tinggi dari semuanya. Jarak Pagar membutuhkan 20ribu liter air [tepatnya 19.924 lier] untuk menghasilkan 1 liter biodiesel. Bandingkan dengan konsumsi air yang dibutuhkan oleh bunga matahari dan kedelai yang masing-masing 14.201 dan 13.676 liter air untuk menghasilkan 1 liter biodiesel. Dari hasil penelitian itu pula terlihat bahwa tanaman penghasil bioethanol lebih rendah konsumsi airnya dibandingkan dengan tanaman penghasil biodiesel.Jagung, misalnya, membutuhkan 2570 liter air untuk menghasilkan 1 liter bioethanol. Yang paling rendah dari semuanya adalah sugar beet/lobak yang membutuhkan 1388 liter air untuk 1 liter bioethanol.

Sayang sekali, dalam penelitian ini tidak dibandingkan dengan kelapa sawit, yang akhir-akhir ini menjadi "bintang' perdebatan, terutama di Eropa. Eropa menggantungkan diri pengembangan Biofuel-nya pada biodiesel dan bukannya bioethanol seperti USA. Dalam perkembangannya, permintaan ini telah memacu naiknya produksi kelapa sawit di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Malaysia dan tuduhannya adalah kenaikan produksi ini berbanding lurus dengan naiknya angka deforestasi di dua negara itu.

Konsumsi air yang besar ini tentu saja membutuhkan sistem irigasi yang baik yang dalam kondisi sekarang tentu akan 'berkompetisi' dengan tanaman [pangan] lainnya. Klaim bahwa jarak pagar membutuhkan sedikit air serta dapat bertahan dari musim kering itu benar ketika ia sudah tumbuh. Namun ketika ia dibudidayakan, apalagi diharuskan menghasilkan minyak yang tinggi, masalahnya menjadi lain. Ia tetap saja seperti tanaman lain yang membutuhkan air dan lahan yang baik agar tumbuh berkembang dan menghasilkan minyak sesuai harapan. Jika tidak, ia akan tumbuh namun dengan produktivitas yang rendah. Seorang eksekutif dari D1 sendiri sudah mengatakan jika Jatropha ditanam di lahan marginal maka produktivitasnya juga akan marginal.

Dan perdebatan etik makanan versus energi pun nampaknya akan terjadi kembali sebagaimana sudah menimpa jagung. Karena Jarak Pagar membutuhkan banyak air [baik dari air hujan maupun irigasi] serta lahan yang baik untuk tumbuh, maka sepertinya, dengan permintaan yang tinggi pada biofuel, akan membuat Jarak Pagar tetap menjadi pilihan dan sepertinya "merebut" lahan untuk kepentingan pangan. Contohnya sudah banyak, di Chhattisgarh, India, irigasi buat padi mulai dialihkan untuk kepentingan Jarak Pagar. Di Mindanao, Filipina, Myanmar dan Swazilan, lahan-lahan subur untuk pangan sudah mulai diambil alih untuk kepentingan Jarak Pagar.

Biarpun kenyataan seperti itu dan seperti dalam penelitian ini sudah menegaskan bahwa Jarak Pagar tidak efesien dan tidak "hijau" untuk menghasilkan Biofuel, Jarak Pagar tetap akan dikembangkan, terutama di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan karena Jarak Pagar lebih murah dan mudah dalam proses produksinya dibandingkan bioethanol atau generasi kedua biofuel; disamping itu, adanya kawasan, seperti EU, yang menetapkan mandat pemakaian biofuel, dan sepertinya Amerika akan menyusul, yang membuat permintaan Biofuel tetap tinggi.

Dalam salah satu kesimpulannya, penelitian ini ingin kita membuka perspektif baru dan bahkan meluaskan perdebatan "pangan vs energi" dalam isu biofuel ini, dengan memasukkan isu [konsumsi] air. Apakah masih harus air yang sangat terbatas itu dipergunakan untuk kepentingan energi dan pangan? Ia telah menegaskan bahwa 13 tanaman yang selama ini dipakai untuk menghasilkan biofuel membutuhkan konsumsi air yang sangat besar. Setidaknya, penelitian ini sudah mengarahkan pada tanaman [dan negara] mana konsumsi airnya lebih efesien dalam menghasilkan biofuel. Dan Jarak Pagar adalah yang terburuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar