06 Februari 2009

Alasan Ekspansi Perkebunan Sawit [harus] Membabat Hutan

Begitu kita disodorkan dengan data deforestasi yang tetap tinggi di Indonesia [dan Malaysia] dalam beberapa tahun terakhir, telunjuk kita dengan lancar akan menunjuk pada masifnya ekspansi perkebunan sawit. Menurut SawitWatch, luas kebun sawit di Indonesia saja sudah mencapai 7,4 juta hektar untuk tahun 2008 saja. Data lain menyebutkan luas kebun sawit pada tahun 1985 seluas 600ribu hektare, yang kemudian meloncat ke 6.425.061 hektare di tahun 2005 dan diperkirakan akan mencapai 7.125.331 juta hektare di tahun 2009 ini. Tingginya permintaan sawit, baik dari domestik maupun dari luar negeri memacu ekspansi tersebut.

Tetapi kenapa harus membuka sawit di kawasan hutan? Bukankah katanya pohon sawit tidak terlalu bergantung pada kondisi tanah [subur tidak subur]; tetapi lebih pada tinggi rendahnya tanah dari permukaan laut serta kondisi iklim? Bukankah dengan demikian ia bisa ditanam di lahan terdegradasi.

Menurut WRI, alasannya ternyata sangat sederhana: ekonomi. Menanam sawit di lahan hutan sangat menguntungkan karena mereka bisa melakukan "subsidi tanam". Ini terkait dengan siklus bisnis minyak sawit. Pengusaha yang mau menanam sawit harus menunggu selama 4 tahun untuk mulai bisa beroperasi dan menangguk untung - selama jangka waktu itu dibutuhkan biaya yang banyak untuk kegiatan operasional perusahaan. Nah dengan menanam sawit di hutan, dia bisa mendapatkan dana dari hasil penebangan kayu yang ada di hutan itu. Dana itu dipakai sebagai biaya operasional perusahaan.

Alasan kedua adalah masalah tenurial. Menanam sawit di lahan non-hutan apalagi yang terdegradasi akan menghadapkan perusahaan dengan berbagai resiko, terutama biaya harus mengganti lahan yang dikuasai/dimiliki oleh penduduk lokal. Dan mengapa harus mengambil jalan itu jika tersedia jalan yang lebih mudah?

Okelah.Tapi bukankah rata-rata pengusahaan sumber daya alam selalu berhadapan dengan hal seperti itu? Dan bahkan secara umum, investasi memang mengeluarkan biaya duluan yang nantinya jika berhasil akan kembali plus dengan keuntungannya?

Bandingkan misalnya dengan perusahaan minyak. Sudah ketika eksplorasi saja harus bayar pajak ke pemerintah, mending kalau ada minyaknya; kalau tidak ada rugi jutaan dollar. Nah ketika ketemu ada minyak, bukankah dia harus melakukan proses konstruksi yang juga memakan waktu yang lama dengan biaya yang juga tidak sedikit. Dengan kata lain: itulah resiko usaha? [memang ada mekanisme cost recovery untuk menjaga keseimbangan [beban] dengan negara; tetapi mekanisme ini terjadi kemudian, tidak di awal, sehingga kesungguhan pengusaha bisa diuji].

Lalu kenapa perusahaan sawit sepertinya mendapatkan insentif "lebih" berupa ijin konversi hutan [walaupun katanya akan dibatasi] yang nampaknya gampang didapat? Bukankah sudah banyak kasus dimana pengusaha "sawit" membuka lahan hutan dan kemudian ditinggalkan tanpa ada proses lanjutan berupa penanaman sawit? Kenapa pemerintah - kalau bisa, sedari awal - tidak mendorong mereka untuk menanam di lahan yang terdegradasi? Apakah ini hanya masalah pendapatan negara?...

1 komentar:

  1. Salut, jarang baca blog yang peduli lingkungan dari sudut hukum. Salam kenal ya, mungkin saya akan menghubungi Anda terkait dengan tesis yang sedang saya susun.

    BalasHapus