09 Oktober 2008

Pengurangan Pajak bagi siapa?

Oleh: Mumu Muhajir

Untuk mendorong pertumbuhan investasi di Indonesia, pada tanggal 6 Oktober 2008 kemarin, pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No 62 tahun 2008 tentang perubahan atas PP no 1 tahun 2007 tentang FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH - DAERAH TERTENTU. Perubahan yang dimaksud adalah dengan menambahkan item bidang usaha dan bidang usaha tertentu di daerah tertentu yang bisa mendapatkan insentif pajak penghasilan dari yang awalnya 15 bidang usaha dan 9 bidang usaha di daerah tertentu pada PP 1/2007 menjadi 23 bidang usaha dan 15 bidang usaha di daerah tertentu.

Fasilitas pajak yang ditawarkan adalah
a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 tahun masing-masing sebesar 5% per tahun;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10%;
d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun.

Pengusaha yang ingin mendapatkan insentif pajak harus terlebih dahulu mendaftarkan diri ke Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM] – yang memang menjadi “lead sector” untuk melaksanakan kebijakan insentif pajak tersebut - dengan membawa persyaratan yang ditetapkan, kemudian akan diverifikasi oleh Ditjen Pajak. Jika disetujui akan dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Ditjen Pajak.

Bidang Usaha Kehutanan

Dalam PP No 1 tahun 2007, bidang usaha kehutanan yang mendapatkan insentif pajak “diwakili” oleh bidang usaha Industri Bubur Kertas (Pulp), Kertas dan Kertas Karton/Paper Board. Cakupan produk dalam bidang usaha bubur kertas diintegrasikan dengan HTI dan dua sisanya diintegrasikan dengan bubur kertas. Saya tidak menemukan penjelasan lain apa yang dimaksud dengan “diintegrasikan dengan HTI”. HTI juga tidak termasuk bidang usaha yang mendapatkan insentif pajak.

Kekacauan itu, saya rasa, kemudian dikoreksi dengan PP No 62 tahun 2008 ini, yang memasukkan bidang usaha HTI sebagai bidang usaha baru yang bisa mendapatkan insentif pajak. Dalam lampiran terlihat bahwa bidang usaha HTI ini terbagi dua: satu, untuk pengusahaan tanaman Jati sampai dengan cendana [yang dalam pandangan penulis tidak ada batas minimal luasan areal usaha] dan dua, usaha penanaman akasia, ekaliptus serta hutan lainnya. Tampaknya bagian kedua ditujukan bagi kepentingan industri bubur kertas, yang juga mendapatkan insentif pajak [diintegrasikan dengan HTI]. Batasan luasan yang bisa diberikan insentif pajak adalah bagi pengusaha yang mengusahakan IUPHHK-HTI ini minimal 50.000 ha.


Saya tidak paham apa yang dimaksud dengan diintegrasikan dengan HTI ini. Apakah pengusaha HTI yang sekaligus mempunyai IUPHHK-HT bisa mendapatkan dobel insentif/pengurangan pajak penghasilan atau salah satunya saja? Tidak ada penjelasan tentang hal ini. Lantaran di lapangan ada banyak pengusaha HTI yang tidak mempunyai industri bubur kertas dan berperan sebatas sebagai pemasok bahan mentah saja.

Dengan batasan minimal 50.000 ha tersebut, hanya pengusaha besar saja yang bisa mendapatkan insentif pajak. Padahal pengusahaan hutan HTI di Indonesia ini tidak hanya dilakukan oleh pengusaha besar; tetapi ada juga IUPHHK-HTR yang mulai dilaksanakan sejak Juni 2007 yang luasan kawasannya lebih kecil dari 50.000 ha. [ditetapkan dengan Permenhut P.23/Menhut-II/2007 jo Permenhut P.5/menhut-II/2008]

Sepertinya kita akan kembali melihat karakter pengelolaan SDA di Indonesia yang pro capital besar dan kembali melupakan rakyat-rakyat kecil. [Bukan hanya itu, dalam penelusuran penulis akan kebijakan pengusahaan hutan [produksi] di Indonesia, terlihat bahwa mekanisme yang harus dijalani pemodal kecil/rakyat untuk mendapatkan ijin lebih berbelit dan menghadapi banyak birokrasi daripada yang dijalani pemodal besar. Tapi ini persoalan lain yang tidak terlalu relevan dengan yang sedang dibicarakan]. Pemerintah selalu saja dibutakan dengan keyakinan bahwa hanya pengusaha besar saja yang bisa melakukan pengusahaan hutan dengan baik, manajemen tertata dan pemberi devisa besar bagi negara sehingga harus mendapatkan insentif pajak.

Sebenarnya, dalam kebijakan kehutanan, sudah ada kebijakan yang mengakomodasikan kepentingan pemodal kecil ikut serta dalam mengusahakan hutan, seperti misalnya hutan kemasyarakatan atau HTR itu tadi. Selain HTR yang akan mendapatkan fasilitas kredit, kebijakan hutan kemasyarakatan seperti ditinggalkan hanya sebagai pemanis bibir saja. Dan sekarang dalam gegap gempita untuk memperkokoh perekonomian bangsa, sepertinya, hanya “Para Gajah” saja yang berperan sekaligus menangguk untung, sementara rakyat kecil [kembali] menjadi tontonan.

Dilupakannya posisi pemodal/rakyat kecil supaya terdaftar bisa mendapatkan insentif pajak bukan hanya masalah “paradigma” pengelolaan SDA [hutan]. Tapi juga kembali menguarkan adanya ketidakberesan dalam sinkronisasi kebijakan antar sektor bahkan mungkin intra sektor itu sendiri. Kenapa hanya pengusaha yang memiliki areal usaha 50ribu ha saja yang mendapatkan insentif pajak? Apakah Depkeu dan BKPM tidak bertanya dulu pada Dephut siapa saja yang bisa dapat insentif pajak? Dephut sendiri sepertinya ingin tidak ada pembatasan minimal luasan.

Mudah-mudahan, dalam kebijakan selanjutnya [karena PP no 62 tahun 2008 ini merupakan salah-satu dari rangkaian kebijakan yang tertuang dalam Inpres 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009 untuk memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan daya saing nasional] ada kebijakan yang lebih berpihak pada pemodal/rakyat kecil [khususnya dalam bidang usaha kehutanan] dan benar-benar diimplementasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar