04 September 2012

"Pengadilan hanya untuk orang miskin": Thailand

Tidak. Tentu tidak. Pengadilan yang malah dijadikan jalan keluar untuk mendapatkan pengampunan oleh orang kaya dan berpengaruh dan hanya "berjalan normal" ketika yang dihisapnya adalah orang-orang miskin, secara telanjang terjadi juga di sini, tidak hanya di Thailand sana.

Berita tentang cucu anak konglomerat pemilik merek Red Bull yang menabrak dan menyeret sejauh 200 meter mayat polisi itu sedang menjadi perbincangan hangat di media dan media sosial Thailand. Tidak ada yang bersimpati pada si cucu itu; semuanya ingin melihat keadilan ditegakkan, di pengadilan. Namun melihat tabiat pengadilan Thailand sendiri yang secara terang-terangan bersikap lunak pada para koruptor, tukang tipu pajak, penabrak mati 10 orang karena dia seorang kaya dan ningrat, mengembalikan kepesimisan dalam berita-berita dan gerundelan yang tertangkap di media sosial.

Pengadilan yang kotor, sistem pemerintahan yang tidak melihat "konflik kepentingan" sebagai sebuah masalah adalah dua hal dari selain hal kotor, abu-abu lainnya yang juga tumbuh subur di sini. Tidak ada aturan perundang-undangan yang mengatur soal konflik kepentingan pejabat di sini. Anda bisa temui seorang pejabat di sebuah departemen menjadi direktur atau direktur bayangan di sebuah perusahaan yang melakukan tender di departemennya dan dia bisa mengakuinya dengan tertawa. Dia dan juga kita diam-diam malah mengagumi kelicikannya itu. "Tidak penting lagi apa yang kamu tahu dan kamu usahakan; yang penting adalah siapa yang kamu kenal. Semua orang Thailand merasa jijik dengan hal itu, tapi kita tetap menerimanya." kata komentator politik di berita itu. Benar. Kita juga di sini, diam-diam atau terus terang, menerima hal itu sebagai "norma-norma sosial". Menyedihkan memang, tapi kita akan membawa dalam hidup kita sebagai kewajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar