06 Agustus 2012

Masalah pengeboran minyak, lain Brazil, lain Indonesia

Pengadilan federal Brazil memutuskan Chevron dan Transocean untuk menghentikan operasi pengeboran di lepas pantai Rio de Jenairo karena adanya kebocoran minyak dari rekahan di dasar laut di dekat operasi pengeboran mereka dalam jangka waktu 30 hari. Pengadilan bahkan menghukum Chevron dan Transocean untuk membayar denda setiap kali keterlambatan penutupan operasi. Chevron sendiri memutuskan akan banding pada keputusan ini. Dia merasa - peristiwa ini bukan yang pertama kali - bahwa dia pernah secara sukarela menghentikan operasi dan menutup rekahan tersebut. Da merasa punya kemampuan untuk menutup kebocoran itu.

Minyak memang makin sulit didapatkan di daratan atau di laut dangkal. Cadangan-cadangan besar minyak diperkirakan ada di laut-laut dalam. Untuk mengambilnya, bukan perkara yang mudah. Perlu teknologi tinggi dan investasi yang tidak murah. diperkirakan hasilnya juga besar, tapi memang resikonya juga besar. Dalam kondisi seperti itu, aspek lingkungan biasanya dianggap angin lalu, setidaknya hanya dibicarakan dalam PR atau iklan perusahaan.

Brazil mengambil langkah lain: bahwa keselamatan bumi dan manusia tetap harus menjadi prioritas dalam bisnis kaya perminyakan. Sebuah langkah yang punya potensi membawa keburukan, jika Chevron dapat membawanya ke tingkat arbitrase atau pengadilan (tergantung kontrak di awal dan perjanjian lainnya) dan menang; karena berhubungan dengan penghentian operasi sebuah proyek raksasa.

Tidak perlu membuka data lama, satu peristiwa hampir sama dengan respon pemerintah yang jauh berbeda ditunjuk di republik kita tercinta ini. Lapindo mengebor minyak di daratan, di tengah pemukiman dan "krak" pengeborannya mengenai patahan bumi yang membuatnya menyemburkan lumpur sampai sekarang. Ribuan orang kehilangan rumahnya, rasa amannya, Sungai Porong mati, lumpur menggenangi delta laut. Dan sampai sekarang ganti rugi menjadi hantu: dibicarakan tapi tidak ada buktinya. Untuk mengejar itu, beberapa pihak kehilangan harga dirinya (baca cerita Suwandi). Dan, bisa dipastikan, pelakunya lenggang kangkung, tanpa ada hukuman sama sekali. Perusahaan yang sama malah masih memiliki kontrak perminyakan di daerah sebelah Porong.

Dalam hukum lingkungan, ada yang namanya precautionary principle, prinsip kehati-hatian. Bukan dimaknai bahwa ini untuk melindungi lingkungan. Buat apa. Lingkungan tidak perlu dilindungi; yang perlu dilindungi adalah keselamatan manusia dan mahluk lain (heheh, melingkar yak) yang bergantung pada lingkungan. Ekosistem bisa berubah dengan cepat, hutan dibabat, sungai dikotori, bumi disedot isinya terus-menerus, tapi Bumi/lingkungan akan menemui keseimbangan lainnya (hutan jadi tidak ada pohon, sungai jadi penuh polusi, dst); dia akan tetap ada di sana. Manusialah yang akan kena batunya, apalagi jika kesulitan mengadaptasinya.
Saya harap di titik inilah pengadilan federal Brazil mengambil tindakan berani di atas, karena siapa yang bisa menahan ketika semburan itu tidak bisa dihentikan? Berapa ratus ribu barel minyak akan terus keluar dari bumi dan mengotori laut Rio de Jenairo? dan apa dampaknya bagi manusia yang tinggal di tepi pantai? apa dampaknya juga pada pertumbuhan phytoplankton, satu dari dua ekosistem yang dapat mendaurulang gas-gas rumah kaca(satunya lagi hutan tropis), yang semakin hari semakin runyam keadaannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar